02 Februari 2008

RASIONALISASI GLOBAL DAN TAKLUKNYA DUNIA KETIGA




Pendahuluan
Weber pernah menghubungkan antara rasionalisasi dan konsep kehidupan dunia modern, (Etzkowitz,1991 :125) sedangkan Marx dan Engels menghubungkan masa depan negara-negara yang terbelakang dengan melihat negara-negara yang sudah maju atau modern. Ini berarti bahwa seperti halnya teori modernisasi Marx dan Engels mengikuti juga pandangan perkembangan uniliner dari proses pembangunan negara-negara di dunia ini. Negara-negara yang terbelakang diramalkan akan menjadi seperti negara-negara maju sekarang.
Marx dan Engels menjelaskannya sebagai berikut, melalui kemajuan teknologi dalam segala bidang, maka teknik produksi termasuk teknologi komunikasi akan menjadi semakin canggih dan murah, sehingga hubungan antara negara-negara maju dengan dunia ketiga tidak dapat dihindari. Dunia ketiga tidak mampu menolak porduksi teknologi dunia maju sebagai akibat keterbatasannya dalam pengembangan teknologi. Semua negara akan memakai cara produksi kaum borjuis. Kalau tidak, mereka akan hancur. Dengan perkataan lain kaum borjuis menciptakan dunia ini sesuai dengan apa yang dibayangkan.(Blomstrom & Hettne, 1984:28)
Apa yang terungkap dalam penjelasan teoritis Marx tentang hubungan negara maju dan dunia ketiga adalah pengakuan akan adanya paradoks antara kelompok tertentu dengan kelompok lainnya sebagai representasi negara maju dan Dunia Ketiga. Pendeknya bagi Marx, dunia di luar benua Eropa dan Amerika adalah dunia yang kuno dan statis, ketinggalan jaman, tak ada dinamika apa-apa. Ini dituangkan dalam konsep yang dikenal dengan nama cara produksi Asia. Model masyarakat industrial Barat pada saat itu, sepertinya menjadi “citra masa depan (image of the future) bagi pembangunan di Dunia Ketiga.(Moeljarto, 1995:xi)


Mengapa bangsa-bangsa Eropa atau bangsa-bangsa maju lainnya melakukan ekspansi keluar dan menguasai bangsa-bangsa lainnya, baik secara politis maupun ekonomis. Apa yang menjadi dorongan utamanya. Ada tiga kelompok teori yang memberikan jawaban atas pertanyaan ini, yakni: pertama, teori yang menekankan idealisme manusia dan keinginannya untuk menyebarkan ajaran Tuhan atau untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Kedua, teori yang menekankan kehausan manusia terhadap kekuasaan, untuk kebesaran pribadi maupun kebesaran masyarakat dan negaranya, dan yang ketiga, teori yang menekankan pada keserakahan manusia yang selalu berusaha mencari tambahan kekayaan, yang dikuasai oleh kepentingan ekonomi.(Winks, 1963:3)
Dari teori perdebatan awal teori-teori pembangunan akhirnya muncul gagasan-gagasan yang menjadi bagian dasar dari teori-teori ketergantungan. Teori ketergantungan lahir dari dua induk. Induk pertama adalah seorang ahli ekonomi liberal: Raul Prebisch. Induk yang kedua adalah teori-teori Marxis tentang imprealisme dan kolonialisme, serta seorang pemikir Marxis yang merevisi pandangan Marxis tentang cara produksi Asia, yakni Paul Baran. Teori-teori ketergantungan yang digunakan khususnya dalam melihat kondisi pembangunan di dunia ketiga, sangat banyak mempengaruhi pikiran-pikiran yang berkaitan dengan keterbelakangan dan kemisikinan di dunia ketiga.
Tesis Marx yang mengatakan bahwa negara-negara kapitalis maju akan menularkan sistem kapitalisnya ke negara-negara berkembang sehingga mengakibatkan kemajuan pula bagi negara berkembang, dibantah oleh Baran. Baran menunjukkan bahwa negara-negara pinggiran yang disentuh oleh negara-negara maju tidak mengalami kemajuan. Negara-negara terbelakang dikuasai oleh kepentingan modal asing dan agen-agennya di negara tersebut dan oleh kepentingan kaum pedagang dan tuan tanah.(Brewer, 1980: 157)
Dalam kaitannya dengan rasionalisasi global, takluknya negara dunia ketiga dari negara Barat tidak dapat dipisahkan dari bagian sistematis perkembangan dunia secara global. Pergeseran budaya sebagai akibat perkembangan pesat teknologi komunikasi mendorong perubahan-perubahan pandangan ekonomi di berbagai negara-negara maju, dan berdampak secara langsung pada negara-negara di dunia ketiga.
Kemajuan ekonomi yang pesat tidak mungkin terjadi tanpa adanya penyesuaian-penyesuaian yang menyakitkan. Filosofi-filosofi lama telah bergeser, lembaga-lembaga sosial lama telah hancur, ikatan-ikatan kasta, kepercayaan dan ras harus dilepaskan, dan sejumlah besar orang yang tidak bisa mengikuti perkembangan akan mengalami frustasi karena harapan mereka untuk mendapatkan hidup yang nyaman tidak tercapai. Hanya sedikit orang yang bersedia membayar harga penuh demi kemajuan ekonomi.
Dua tema pokok yang menjadi prolog dalam tulisan ini digunakan untuk memproblematisasi dampak rasioanalisasi global dan takluknya dunia ketiga oleh negara-negara maju. Relevansi atas rasionalisasi global dan takluknya dunia ketiga terfokus pada perdebatan teori-teori pembangunan ekonomi negara-negara maju dan dunia ketiga yang mengalami ketimpangan. Pada bagian awal akan diproblematisasi keterbelakangan dan kemiskinan dunia ketiga, sedangkan bagian kedua, difokuskan pada relevansi rasionalisasi global terhadap takluknya dunia ketiga.

Teori Pembangunan Dunia Ketiga
Di tengah perdebatan teori-teori pembangunan, keterbelakangan dan kemiskinan dunia ketiga, muncul berbagai spekulasi terhadap gagalnya teori keunggulan komparatif mengimplementasikan konsepnya sampai pada tataran praxis. Ide dasar yang dikembangkan adalah keuntungan dan kesejahteraan yang diperoleh bersama antara negara industri dan negara agraris sebagai konsekuensi logis dari pembagian kerja secara internasional.
Bahkan ada kecenderungan yang kuat untuk menilai teori keunggulan komparatif sebagai bentuk eksploitasi dan penindasan terselubung negara industri terhadap negara agraris, setelah gagal mencapai harapan teori yang ideal. Ini terbukti setelah negara industri semakin meraup keuntungan yang besar sementara negara agraris mengalami kemiskinan hebat.
Adalah Raul Prebich, seorang ahli ekonomi leberal, sekretaris eksekutif sebuah lembaga PBB yang didirikan pada tahun 1948 di Santiago De Chile tertarik untuk menelusuri kegagalan teori keunggulan komparatif ini. Perhatian Prebich terkonsentrasi kepada persoalan mengapa negara-negara yang melakukan spesialisasi di bidang industri menjadi negara-negara kaya, sedang mereka yang memilih bidang pertanian tetap saja miskin.
Menurut Prebrich, adanya teori Pembagian Kerja secara Internasional yang yang didasarkan kepada teori keunggulan komperatif membuat negara-negara di dunia melakukan spesialisasi produksinya. Oleh karena itu negara di dunia terbagi menjadi dua kelompok; negara-negara pusat yang menghasilkan barang industri, dan negara pinggiran yang menghasilkan barang-barang pertanian. Keduanya saling melakukan perdagangan. Dan menurut teori di atas seharusnya keduanya saling menguntungkan dan sama-sama kaya, tetapi kenyataan menunjukkan hal yang sebaliknya.
Prebrich menunjuk pada penurunan nilai tukar dari komoditi pertanian terhadap komoditi barang-barang industri. Barang-barang industri menjadi semakin mahal dibandingkan dengan barang-barang hasil pertanian. Akibatnya terjadi defisit pada neraca perdangangan negara-negara pertanian bila mereka berdagang dengan negara-negara industri. Dan defisit ini makin lama makin dirasakan menjadi beban yang besar.
Gejala ini dapat dijelaskan pertama, karena permintaan untuk barang-barang pertanian tidak elastis. Di sini berlaku apa yang disebut sebagai “Hukum Engels”, yang menyatakan bahwa pendapatan yang meningkat menyebabkan prosentasi konsumsi makanan terhadap pendapatan justru menurun. Artinya pendapatan yang naik tidak menaikkan konsumsi untuk makanan, tetapi justru menaikkan konsumsi barang-barang industri. Akibatnya, anggaran negara pertanian yang digunakan untuk mengimpor barang-barang industri dari negara-negara pusat akan semakin meningkat, sedangkan pendapatan dari hasil ekspornya relatif tetap.
Kedua, negara-negara industri sering melakukan proteksi terhadap hasil pertanian mereka sendiri sehingga sulit bagi negara pertanian untuk mengekspor ke sana. Inilah yang memperkecil jumlah ekspor negara pinggiran ke negara pusat. Ketiga, kebutuhan akan barang mentah dikurangi sebagai akibat dari adanya penemuan-penemuan teknologi baru yang dapat membuat bahan-bahan menjadi sintesis.
Jika negara pinggiran mengalami ketimpangan dari hasil pembagian kerja secara internasional, maka negara pusat yang memproduksi bahan-bahan industri justru memperoleh keberuntungan. Hal ini dapat terjadi karena pertama, kenaikan pendapatan mengakibatkan juga kenaikan pada konsumsi barang-barang industri. Karena itu kenaikan pendapatan di negara industri tidak banyak menaikkan impor barang-barang pertanian. Tetapi sebaliknya kenaikan pendapatan di negara pertanian menyebabkan meningkatnya impor barang-barang industridari negara-negara pusat.
Ketiga, kemakmuran yang meningkat, dan kekuatan stabilitas politik yang relatif membaik berdampak pada membaiknya posisi tawar menawar kaum buruh. Akibatnya, upah buruh juga terus meningkat. Dampaknya kemudian adalah upah buruh menjadi semakin tinggi. Seiring dengan meningkatnya upah buruh, harga jual barang industri pun menjadi semakin mahal. Kenaikan harga barang industri ini tidak diikuti oleh kenaikan permintaan dan harga barang-barang pertanian. Sehingga pada akhirnya kesenjangan pendapatan antara negara pertanian dan industri mengalami ketimpangan. (Arief Budiman : 1996)
Salah satu negara agraris dari dunia ketiga adalah Indonesia. Pada saat Indonesia mengikuti pembagian kerja ternyata bertahan lama pada kelompok negara spesial di bidang pertanian dan sangat lambat melakukan perubahan pembangunan ekonomi dari pertanian ke industri manufaktur. Artinya, Indonesia tidak termasuk diuntungkan dalam pembagian kerja internasioanl tersebut.
Kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia tetap terkonsentrasi pada prioritas pembangunan di sektor pertanian dan tidak menunjukkan adanya peningkatan di sektor industri secara signifikan. Meskipun sektor pertanian yang sehat dalam suatu negara miskin secara material dapat juga memberi sumbangan terhadap laju pertumbuhan yang lebih cepat dan merata bagi sektor perekonomian lainnya. (Syahrir: 1991)
Persoalan ini, meski tidak dilihat sebagai satu-satunya alasan, baik dilihat sebagai kajian lokal, regional maupun internasional menjadi faktor yang menentukan bergesernya orientasi pembangunan dari pertanian ke pembangunan industri, baik industri padat karya maupun industri padat modal, tetapi paling tidak dapat menunjukkan adanya pengaruh yang cukup signifikan antara dua kutub yang berlawanan.
Setidaknya tesis Tokman membantu kita untuk memperoleh gambaran dengan dukungan bukti-bukti empiris dari data di Indonesia yang menyebutkan angka-angka perbedaan produktivitas antar sektor dalam ekonomi Indonesia untuk priode 1971 – 1990 misalnya. Perbedaan produktivitas antar sektor dalam ekonomi Indonesia selama priode ini secara umum bersifat statis atau tidak meningkat. Rasio antara produktivitas sektor pertanian dengan produktivitas non pertanian praktis tidak berubah, yaitu sebesar 0,25 pada tahun 1971, sebesar 0,26 pada tahun1985 dan sebesar 0,24 pada tahun 1990. Kesenjangan antara sektor pertanian dan industri telah bertambah parah .
Contoh kasus Indonesia adalah sebagian kecil dari kasus-kasus yang dialami oleh negara-negara yang tergolong ke dalam dunia ketiga. Teori pembagian kerja secara internasional pada prakteknya tidak cukup kuat mengangkat kesejahteraan dunia ketiga. Bahkan justru dapat dimengerti bahwa penjelasan teori pembagian secara internasional tersebut telah melahirkan bentuk ketergantungan baru dunia ketiga oleh negara-negara maju.
Kegagalan teori komperatif menghasilkan kesejahteraan secara berimbang antara negara agraris dan industri menyebabkan munculnya kembali analisis-analisi baru, baik yang berkaitan langsung dengan kritik atas teori komperatif, maupun teori yang kelahirannya diilhami oleh resistensi atas dominasi negara maju terhadap dunia ketiga.
Salah satu kritik yang penting terhadap teori ketergantungan adalah tentang kemungkinan pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi di negara-negara pinggiran. Kritik ini sebenarnya diarahkan kepada Paul Baran dan Andre Gunder Frank yang menyatakan bahwa proses industrialisasi akan dihambat karena elite yang dominan di negara-negara pinggiran. Keberhasilan dari negara-negara industri baru seperti Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura memperkuat kritik terhadap teori ketergantungan ini.
Sebelum sampai pada proses-proses yang terjadi dalam kaitannya dengan penaklukan dunia ketiga oleh negara-negara maju, maka ada baiknya perdebatan yang timbul dari teori ketergantungan dan teori yang berkembang sebagai kritik dan polemik sesudahnya, diberi ruang analisis untuk mengantar ke persoalan pokok tulisan ini.
Teori pembangunan dari para ekonom liberal beranggapan bahwa keterbelakangan adalah akibat kekurangan modal. Kekurangan modal ini disebabkan oleh faktor-faktor tradisional yang ada pada masyarakat terbelakang itu, serta tingkat keahlian yang rendah. Terapi yang ditawarkan adalah bantuan modal serta usaha-usaha di bidang pendidikan untuk mengubah baik nilai-nilai tradisional yang tidak cocok untuk sebuah usaha pembangunan yang modern, maupun untuk meningkatkan kepakaran-kepakaran dalam bidang teknologi.
Teori ketergantungan pada dasarnya setuju dengan kekurangan modal dan ketiadaan keahlian sebagai penyebab ketergantungan. Tetapi faktor penyebabnya bukan dicari pada nilai-nilai tradisional bangsa itu, melainkan pada proses imprealisme dan neo imprealisme yang menyedot surplus modal yang terjadi di negara-negara pinggiran ke pusat. Proses imprealisme oleh Barat, dikaburkan dengan mengedepankan nilai-nilai tradisional sebagai penyebab utama keterbelakangan negara-negara Dunia Ketiga.
Perkembangan yang wajar dari negara-negara pinggiran, yang mestinya akan menuju pembangunan yang mandiri, terganggu akibat masuknya kekuatan ekonomi dan politik dari negara-negara pusat. Oleh karena itu penambahan modal dan keahlian disuntikkan begitu saja ke negara-negara pinggiran tidak akan menolong, sebelum struktur ekonomi dan struktur politik yang dibuat untuk memberi keuntungan pada modal borjuasi lokal ini diubah secara radikal.
Asumsi dan tesis yang lahir dari perdebatan teori ketergantungan sangat membantu analisi tentang keterbelakangan dunia ketiga. Tetapi perdebatan lain yang muncul adalah apakah ketergantungan sama dengan keterbelakangan. Perosalan ini tidak diperluas tetapi diperoleh titik temu bahwa, baik istilah ketergantungan maupun keterbelakangan merupakan dua istilah yang digunakan untuk menunjukkan takluknya dunia ketiga atas dominasi negara-negara maju.
Teori lain yang menjelaskan masalah ini sebagai reaksi terhadap teori ketergantungan adalah munculnya Wallesrtein dengan teori sistem dunia. Teori ini muncul karena teori ketergantungan dianggap tidak bisa menjelaskan gejala pembangunan di dunia ketiga, yang bisa dijelaskan hanyalah gejala terjadinya keterbelakangan.
Teori sistem dunia sebenarnya sangat sederhana. Dia beranggapan bahwa dulu dunia dikuasai oleh sistem kecil atau sistem mini dalam bentuk kerajaan atau bentuk pemerintahan lainnya. Pada waktu itu belum ada sistem dunia. Perkembangan teknologi dan perkembangan di bidang lain kemudian memunculkan sistem perekonomian dunia yang menyatu. Sistem perekonomian dunia menghubungkan kawasan-kawasan melalui pertukaran di pasar, sistem perekonomian inilah satu-satunya sistem yang ada, dan sistem dunia yang ada sekarang adalah kapitalisme global.
Kapitalisme global yang dilukiskan sebagai satu-satunya sistem yang ada tidak merata pengendaliannya akibat pasar bebas yang selalu mengikutinya. Perbedaan konsentrasi kendali modal antara satu negara dan negara lainnya melahirkan perbedaan pendapatan. Negara-negara yang mengendalikan perputaran modal umumnya menjadi negara-negara maju. Sedangkan negara-negara di mana tempat modal tersebut berputar tetapi tidak dikendalikan akhirnya menjadi negara-negara terbelakang atau sering diistilahkan Dunia Ketiga.

Rasionalisasi Global
Globalisasi bukan hanya atau bahkan terutama, untuk hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi, tetapi tentang transformasi waktu dan ruang dalam kehidupan kita. Revolusi komunikasi dan penyebaran teknologi informasi sangat erat kaitannya dengan proses-proses globalisasi. Ringkasnya, globalisasi adalah sebuah rentangan proses yang kompleks, yang digerakkan oleh berbagai pengaruh politis dan ekonomis. Globalisasi mengubah kehidupan sehari-hari, terutama di negara berkembang, dan pada saat yang sama ia menciptakan sistem-sistem dan kekuatan-kekuatan transisional baru. (Gidden,2000:38)
Diskursus mengenai pembangunan ekonomi dunia ketiga pun kini tengah memasuki ruang perdebatan global yang sengaja diciptakan dan dikontrol oleh negara-negara maju. Diskursus yang sarat dengan muatan politis dan ekonomis ini menjadi instrumen bagi negara-negara besar untuk menaklukkan negara-negara kecil. Gramsci mencatat bahwa proses pembuatan keputusan di negara-negara kecil sangat dipengaruhi, kalau tidak ditentukan, oleh negara-negara besar. Sementara negara-negara besar punya lebih banyak kebebasan dalam merumuskan berbagai kebijakannya, yang sejalan dengan kepentingan domestik dan hubungan sosial domestiknya, ruang gerak negara-negara kecil amatlah terbatas. (Gramsci, 1999:52)
Dalam kaitannya dengan ketertinggalan dan dominasi Barat terhadap dunia ketiga, ia tidak saja dicapai lewat modal, melainkan juga lewat diskursus-diskursus yang sengaja diciptakan secara global. Pandangan Michel Foucault tentang sifat dan dinamika diskursus, kekuatan dan pengetahuan pada masyarakat-masyarakat Barat membantu kita untuk mampu melakukan berbagai kajian serupa berkaitan dengan situasi Dunia Ketiga saat ini.
Paling tidak ada dua apek yang penting untuk melihat dinamika diskursus; perluasan mekanisme disiplinier dan mekanisme normalisasi pada berbagai bidang di Barat ke Dunia Ketiga; dan produksi berbagai diskursus oleh negara-negara Barat tentang Dunia Ketiga sebagai suatu alat untuk mendominasi Dunia Ketiga. Selama empat dekade terakhir ini, diskursus-diskursus ini telah terkristalisasi dalam suatu ruang lingkup strategi yang tak pernah ada sebelumnya, yaitu strategi menghadapi masalah-masalah “keterbelakangan” yang telah muncul dan menyatu dalam suatu rentang waktu beberapa tahun setelah perang dunia kedua.
Kesimpulan yang ingin diberikan oleh Foucault adalah bahwa yang mampu memberikan sumbangan penting pada upaya mempertahankan dominasi dan eksploitasi ekonomi bukan hanya lewat penyebaran pembangunan , tetapi diskursus itu sendiri harus ditanggalkan bila negara-negara Dunia Ketiga itu ingin mengejar jenis atau tipe-tipe pembangunan berbeda. Karena itu implikasi-implikasi yang berhubungan dengan strategi-strategi resistensi perlu diperhatikan secara serius.
Dalam kaitannya dengan rasionalisasi dan takluknya Dunia Ketiga, kita dapat menghubungkan, dalam teori dan praktek, kritik masyarakat disiplinier dan normalisasi teknologi dengan situasi dan perjuangan di Dunia Ketiga. Kita tidak meragukan bahwa impor teknologi dari negara maju memberikan pengaruh yang besar terhadap negara-negara Dunia Ketiga. Tetapi yang dipermasalahkan adalah kasus kapital asing. Impor teknologi tidak memberikan harapan terhadap efek positifnya akibat konflik kepentingan yang ada di antara kekuasaan korporasi yang kebanyakan didominasi oleh negara-negara maju. (Barnet & Muller, 1974:162)
Pendisiplinan dan normalisasi menurut istilah Foucault merupakan dan tidak dapat dipisahkan dari pembangunan kapitalisme. Tunduknya badan-badan dan kontrol terhadap penduduk atau masyarakat adalah tujuan dari jenis kekuatan kaum kapitalis. Anggapan dasar yang dikembangkan Foucault adalah bahwa dalam setiap masyarakat produksi diskursus dikontrol, diorganisasikan dan disebarkan kembali menurut sejumlah prosedur. Karena itu tujuannya adalah untuk mempelajari ketegasan produksi diskursus dan praktek-praktek diskursif di dalam masyarakat-masyarakat Barat.
Resistensi terhadap diskursus-diskursus yang diciptakan negara maju dalam kaitannya mendominasi Dunia Ketiga hanya dapat dilakukan lewat tipe sejarah, melalui perjuangan-perjuangan yang harus dibimbing sejarah, Dunia Ketiga dapat mengembangkan “hubungan kekuatan ekonomi baru”. Sebab interelasi ekonomi dengan faktor-faktor manusia saat ini menyentuh aspek secara luas terhadap perubahan ekonomi, khususnya pada tingkat global sehingga sama sekali tidak dapat dipisahkan dari kelangsungan hidup suatu bangsa. (Simai, 1994:179)
Dunia Ketiga dapat bekerja untuk mencapai ekonomi kekuatan-kekuatan yang baru ini dengan mengambil bentuk-bentuk resistensi terhadap bentuk-bentuk kekuatan lain sebagai suatu titik awal, yaitu mempelajari bentuk-bentuk resistensi yang mempertanyakan status individu, keistimewaan pengetahuan, representasi salah yang dibebankan kepada masyarakat, serta berbagai bentuk eksploitasi, dominasi dan penundukan.
Ada tiga jenis perjuangan utama; pertama, perjuangan melawan bentuk-bentuk ekspolitasi yang memisahkan individu dari apa yang mereka hasilkan, yang dipimpin oleh kelas-kelas pekerja (working classes); kedua, perjuangan melawan bentuk-bentuk dominasi sosial, etnis, seksual, agama, profesi dll, yang dilakukan oleh para individu dan kelompok di dalam wilayah mereka sendiri; ketiga, perjuangan melawan bentuk-bentuk penundukan modern, yaitu bentuk-bentuk penundukan, subyektifitas dan submisi yang mengikat individu dengan dirinya sendiri dan menyerahkan dirinya sendiri kepada orang lain sebagai individu. Walaupun mekanisme-mekanisme penundukan harus dipelajari dalam kaitannya dengan mekanisme-mekanisme eksploitasi dan dominasi , mekanisme penundukan tidak menjadi “terminal” bagi mekanisme ekploitasi dan dominasi.
Di samping itu, hubungan kekuatan dengan jenis hubungan lain yang saling mempengaruhi dengan menimbulkan terjadinya dominasi yang diorganisasikan dalam suatu gerakan strategi yang kurang lebih bersifat koheren dan terpadu. Jadi yang perlu dipelajari adalah proliferasi atau penyebaran “pusat-pusat lokal” dari kekuatan dan ilmu, pola-pola transformasi mereka, cara mereka memasuki suatu strategi secara keseluruhan dan, akhirnya, cara-cara strategi tersebut mendapatkan dukungan dari pola transformasi sebelumnya.

Fakta Global dan Westernisasi Dunia Ketiga
Sejarah mengenai masyarakat Barat dan non Barat atau negara maju dan Dunia Ketiga, khususnya selama periode modern, adalah suatu proses tetap berupa pemberian dan disposisi dari praktek-praktek berlatar belakang sosial, makna-makna sosial dan budaya umum lewat serangkaian diskursus, lembaga, dan praktek-praktek suatu proses di mana kondisi material dari hidup dan mekanisme budaya yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata diubah ke dalam alam perhitungan-perhitungan nyata dan mudah terpengaruh oleh bentuk-bentuk kekuatan pengetahuan yang tidak terbatas jumlahnya.
Habermas telah menyumbangkan sejumlah elemen lain yang membantu kita memahami rasionalitas global yang menandai proses-proses ini dalam masyarakat maju.. Menurut Habermas di dalam masyarakat ini, intervensi negara mengubah kecenderungan-kecenderungan krisis yang terjadi pada sistem yang muncul dari bidang ekonomi mentaati tuntutan-tuntutan akumulasi modal dalam sistem administrasi, politik dan sosial budaya untuk menjamin mode produksi yang langgeng. Secara politik, sistem tersebut mengambil alih tugas perencanaan ideologi. Jadi sistem budaya dimasuki oleh politik; sejumlah aspek budaya, biasanya sudah pasti (pengetahuan sosial implist, praktek-praktek dasar dan nilai-nilai yang dianut bersama) dibawa ke bidang publik, ilmiah dan diskursus-diskursus politik
Hakekat rasio yang berlaku dalam masyarakat dewasa ini, yakni rasio yang berfungsi sebagai alat yang netral untuk mengoperasionalisasikan sebuah sistem. Orang-orang modern yang mengandaikan begitu saja kebenaran rasio semacam ini menganggap bahwa yang “rasional” itu operasional, efektif, efisien, dapat diotomatisasikan, dan dapat dimanipulasi. Rasio tidak mengandung isi moral, sebab semua harapan, penilaian moral, unsure-unsur subjektif, dianggap tidak rasional dan menghambat efektivitas, efesiensi dan operasionalitas sistem sosial dan teknologi. (Hardiman, 1993:17)
Bagaimana cara melihat dari perspektif ini terhadap situasi perjuangan-perjuangan di Dunia Ketiga. Pada tingkat paling umum , kita dapat mengatakan bahwa kekuatan dan pengetahuan jenis baru sedang menyebar di Dunia Ketiga dan berusaha melakukan penyesuaian antara masyarakatnya dan perilaku ekonomi dan budaya tertentu. Lewat proses inilah sistem ekonomi, sosial dan budaya diserap dari Barat, dan hal ini terjadi terutama karena tuntutan-tuntutan ekonomi. Berkaitan dengan itu dimana eksploitasi dan dominasi terjadi dan dipertahankan, tampaknya bidang ekonomi dan non ekonomi mempunyai peran yang sama besarnya.
Di dalam perspektif umum ini, suatu strategi penolakan oleh masyarakat Dunia Ketiga harus didasarkan pada kesadaran akan tiga faktor penting; pertama, bahwa masih ada bidang penting dari praktek dan nilai budaya yang belum ada di Barat. Bidang-bidang yang positif harus dipertahankan, diperkuat dan secara strategis harus dipertentangkan dengan pembentukan politisasi budaya baru. Faktor kedua, bahwa walaupun kesepekatan kelas terjadi pada tingkat tertentu, perjuangan-perjuangan dan konflik-konflik kelas tidak berarti bersifat laten. Setiap strategi resistensi atau penolakan harus menyadari struktur kelas masyarakat di tempat terjadinya penolakan itu.
Di dunia ketiga mekanisme-mekanisme ekspolitasi dan dominasi tetap terjadi, walaupun bentuk-bentuk penundukan kontemporer semakin dirasakan penting dan membantu memelihara eksploitasi dan perbedaan-perbedaan kelas. Fakta bahwa kekuatan dipraktekkan terutama demi memelihara eksploitasi ekonomi, melokalisir perjuangan-perjuangan melawan bentuk-bentuk dominasi dan penaklukan, dilakukan oleh kelompok-kelompok dan berbagai individu melawan bentuk-bentuk kekuatan tertentu
Faktor ketiga yang penting diperhatikan adalah, terdapat beberapa strategi utama yang dibentuk oleh negara-negara maju yang memainkan peran penting dalam memelihara dominasi atas Dunia Ketiga. (a) diskursus di negara berkembang atau Dunia Ketiga dibentuk oleh negara-negara maju. Diskursus itu berhubungan dengan keseluruhan alat perkembangan (mulai dari organisasi internasional seperti Bank Dunia dan Dana Monoter Internasional, hingga lembaga-lembaga pembangunan di tingkat lokal. Demikian pula sejumlah teori besar dibuat oleh organisasi-organisasi dan ahli-ahli internasional di kampus-kampus di Amerika Utara dan Eropa (b) Strategi utama kontemporer untuk penetrasi dan pengendalian Dunia Ketiga diwujudkan dalam teknologi komunikasi dan informasi, khususnya mass media, televisi, dan film-film komersial.
Secara garis besar penekanan dalam tulisan ini diarahkan pada pengendalian produksi diskursus dan cara kerja kekuatan-kekuatan dan pengetahuan yang membuat kita mampu melakukan intepretasi ulang yang bersifat radikal mengenai teori dan praktek pembangunan. Keseluruhan interpretasi itu dapat dinyatakan sebagai berikut: bahwa tanpa mengkaji pembangunan sebagai diskursus kita tidak dapat memahami cara-cara sistematis di mana negara-negara maju di Barat telah mampu memenage dan mengendalikan, dan dalam banyak hal, bahkan menciptakan dan menaklukkan Dunia Ketiga secara politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Walaupun keterbelakangan merupakan suatu bentuk historis nyata, tetapi keterbelakangan telah meningkatkan serangkaian praktek-praktek yang didukung oleh diskursus-diskursus Barat yang merupakan salah satu dari berbagai mekanisme kuat untuk menjaga dominasi atas Dunia Ketiga. Kapitalis dalam hal ini sangat menonjol peranannya. Kapitalisme dalam konteks ini, bukan hanya unsur pengalaman, tetapi juga merupakan suatu konsep. Dengan alasan-alasan sejarah yang tidak sulit untuk direkonstruksi, kapitalisme merupakan konsep yang secara khas berisi penilaian-penilaian baik negatif maupun positif. (Berger, 1990:18)


Pada akhirnya penaklukan Dunia Ketiga dipahami tidak hanya melalui pengendalian modal, tetapi tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan adalah dominasi diskursus teori pembangunan yang dikendalikan dan dikontrol oleh negara-negara maju terhadap Dunia Ketiga. Rasionalisasi global berdampak pada menguatnya dominasi Barat akibat kontrol yang dilakukannya terhadap banyak hal atas Dunia Ketiga
Pandangan dunia Barat merupakan sifat distingtif dari teori-teori mainstream, lama dan baru. Pandangan dunia ini bermuara pada presumsi utopia ekonomi sebagai ilmu yang bebas nilai (Heilbroner, 1973), rasional, analitik dan teknis (Yotopoulos & Nugent, 1976), berurusan dengan pengurutan prioritas investasi dan pemilihan antara alokasi alternatif sumber-sumber jarang untuk mendorong pembangunan ekonomi. Keputusan alokasi kemudian dianggap optimal, yang dikenal dalam buku teks ekonomi sebagai perpect competition (persaingan sempurna), bermula pada tingkah laku rasional dan hukum laissez faire persediaan dan permintaan yang kembali ke invisible hand –nya Adam Smith (1776), bapak ekonomi modern.
Dalam pengertian yang lebih luas, weternisasi, yang mencakup baik pembangunan ekonomi maupun politik, dipakai sebagai “acuan universal”, suatu contoh bagi yang lain untuk diikuti. Dalam periode post perang Dunia II, baik teori pembangunan ekonomi maupun teori modernisasi telah digunakan untuk melakukan westernisasi terhadap Dunia Ketiga.
Dalam masa ini, buku-buku teks dengan cepat menghilangkan budaya-budaya lokal sebagai penghalang atau hambatan bagi pembangunan ekonomi. Dengan cirinya yang sangat teknoktatis dan ahistoris, masa merupakan jaman kejayaan teori pembangunan ekonomi yang merupakan panen teori dan paradigma Barat untuk membimbing negara-negara Dunia Ketiga dalam jalur cepat menuju kemakmuran yang dijanjikan, yang didukung dengan bantuan Barat.
Apa yang dicanangkan Barat dengan dukungan PBB ternyata menimbulkan kekecewaan pada Dunia Ketiga. Sesudah hampir setengah abad pembangunan ekonomi yang dibimbing Barat justru melahirkan kesenjangan antara the haves dan the nots. Dalam banyak bagian Dunia Ketiga justru income-nya telah turun tajam dan menimbulkan lebih banyak kemiskinan sekarang daripada di tahun 1970.
Ketika teori-teori yang di-idealisasikan gagal dalam Dunia Katiga, reaksi yang biasa dari para ekonom mainstream adalah hanya menyusun kembali asumsi-asumsi yang mendasari teori tersebut, yang selalu mempertahankan akar rasionalis Baratnya, tidak pernah menerima kemungkinan konsepsi rasionalisme khusus budaya tertentu. Keadaan ini telah dilukiskan dengan baik dalam kritik rasionalitas oleh Harry Johson:
jika model pasar rasional tidak nampak bekerja secara rasional menurut standar saya, pemahaman saya mengenai bagaimana ia harus bekerja kemungkinan tidak sempurna; dan saya harus bekerja lebih keras dalam teori tingkah laku maksimasi rasional (theory of maximizing behaviour) dan konsekuensi-konsekuensi dari empiris darinya.(Kindleberger, 1989:29).

Dari sinilah, keyakinan yang terus dipegang akan universalitas teori pasar mainstream dan rasionalisme Barat berkembang sebagai orthodoksi. Di sinilah terletak akar-akar rumusan yang terbias dan menyesatkan untuk kebijakan dan perencanaan pembangunan ekonomi Dunia Ketiga.
Hal ini merupakan pandangan dunia yang diproyeksikan dari kerangka zero-sum-game. Dalam kerangka ini, tindakan di dalam relasi pasar tidak dibimbing, dalam artian etis, oleh ideal-ideal teori, demikian pula ia tidak menjadi sasaran pengekangan sukarela untuk menjalankan modernisasi seperti dalam etika non-Barat; idealisasi teori hanyalah berfungsi sebagai strategi negosiasi, seperti dalam kebijakan perdagangan strategis, untuk merasionalisasi atau membenarkan pemerolehan pribadi supaya menang, atau supaya mencetak angka, dengan mengorbankan fihak lain.
Teori-teori pembangunan ekonomi yang sehat perlu didasarkan pada realitas khusus budaya tertentu, yang banyak miripnya dengan bayi yang belajar untuk berjalan dengan kakinya di tanah. Teori-teori yang demikian perlu dibuat secara endogen, secara induktif dan bukannya deduktif, dengan piiran terbuka untuk belajar mengenai nilai-nilai, lembaga-lembaga dan lingkungan silang budaya sebelum merumuskan intervensi kebijakan. Khususnya, para ekonom pembangunan harus mau belajar dari kesalahan masa lampau.
Pada akhirnya, rasionalisasi global yang menjadi bagian sistematis dari upaya dominasi negara maju terhadap Dunia Ketiga tetap menghambat transfer teknologi karena kekuasaan dan ideologi tidak dapat ditrasfer persis dalam bentuk dan cara yang sama sebagai kekuatan ekonomi dan ilmu pengetahuan kepada negara Dunia Ketiga. ( Goulet, 1977: 212)


DAFTAR PUSTAKA

Arief, Sritua. 1997. Pembangunanisme dan Ekonomi Indonesia, Pemberdayaan Rakyat Dalam Arus Globalisasi. Zaman Wacana Mulia : Jakarta.

Barnet, Richard J and Ronald E Muller, 1974. Global Reach, The Power of The Multinasional Corporations, New York, Simon and Schuster Rockefeler Center.

Berger L Peter, 1990, Muh. Oemar (pentj.), The Capitalist Revolution, Fifty Propositions About Prosperity, Equality, an Liberty. Jakarta, LP3S.

Blomstro, Magnus & Bjorn Hettne, 1984. Devolepment Theory in Transition, The Dependency Debate and Beyond: Third World Responses. London, Zed Books Ltd.

Budiman, Arief. 1996. Teori Pembangunan Dunia Ketiga, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Brewen , Antony, 1980. Marxist Theories of Imprealism, A Critical Survey. London, Routledge & Kegan Paul.

Etzkowitz, Henri & Ronald M. Glasman (ed.) 1991. “Max Weber, The Modern World, and Modern Sociology” in The Renascence of Sociological Theory. Itasca, Illinois, F.E. Peacock Publishers, Inc.

Gidden, Anthony, 2000., Ketut Arya Mahardika (pent.), The Third Way. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Goulet, Denis. 1977. The Uncertain Promise: Value Conflicts in Technology Transfer. New York, Idoc/North America.

Hardiman F, Budi, 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta, Kanisius.

Moeljarti. 1995. Politik Pembangunan: Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi. Tiara Wacana, Yogyakarta.

Simahi, Mihaly, 1994, The Future of Global Governance: Managing Risk And Change in The International System, Washington, D.C, United States Institute of Peace Press.

Sugiono, Muhadi, 1999. Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Pustaka Pelajar, 1999.

Syahrir, (peny.), 1997. Analisis dan Metodologi Ekonomi Indonesia. Gramedia, Jakarta.

Winks, Robin W., (ed.), 1963. British Imprealism, Gold, God, Glory. New York, Holt, Rinehart & Winston.






Tidak ada komentar:

Selamat Datang

"Berbahagia menyambut kedatangan anda di blog ini. Semoga ada manfaat yang anda bawa dan sekaligus meninggalkan manfaat untuk kesuksesan bersama".
Birunya laut seakan mewakili suasana lagit tempat muara pikir dan dzikir bertabur. Saya menunggu karya-karya anda yang melampaui gagasan dan batas-batas imajiner langit.