02 Februari 2008

BOOM MINYAK, 1974-1982: PENGARUH STRUKTURAL DAN KETIDAKACUHAN NEGARA

Sekalipun kebijakan-kebijakan selama tahap pertama Orde Baru Suharto agak bersifat campuran, dalam keseimbangannya adalah tepat untuk menggambarkan iklim investasi sebagai sangat responsive terhadap para pengendali modal dan khususnya terhadap yang lebih dapat berpindah-pindah. Para pembuat kebijakan menyadari adanya tekanan untuk bersaing dengan tempat-tempat investasi alternatif, dan rencana kebijakan untuk Indonesia mencerminkan tekanan kompetisi ini. Sekalipun para menteri ekonomi telah mencapai kemenangan yang jelas pada awal tahun 1973 atas Ibnu Sutowo dan kelompok-kelompok politis klientelis yang diwakili dan dilayaninya, dan sekalipun terjadi apa yang disebut “pelajaran” dari sikap tak acuh Sukarno dan bahkan permusuhan terbuka terhadap para pengendali modal, segera mulai terjadi pergeseran mendasar dari arah kebijakan Indonesia sesudah kenaikan harga minyak pada akhir tahun 1973. Pergeseran inimsekaligus menandai tahap kedua Orde Baru Suharto tampak jelas telah dimulai.
Faktor yang paling penting yang berperan atas pergeseran kebijakan ini adalah perubahan dramatis dalam pola pengendalian sumberdaya yang dihadapi dan dikerjakan dari dalam oleh para pembuat kebijakan di Indonesia. Karena sector minyak dan gas dimiliki oleh Indonesia dan keuntungan penjualan itu mengumpul dalam perbendaharaan negara, boom minyak menempatkan sumber daya yang besardan amat luwes itu secara langsung di tangan para pembuat kebijakan Indonesia.
Ketika intensitas dan kedaya gunaan pengaruh structural para mobile investor menurun dan peluang untuk melaksanakan bentuk politik patronase yang lebih kuat meluas, maka peluang-peluang pun meluas pula untuk para pengendali mobile capital yang juga memiliki posisi baik dalam struktur patro klien Indonesia untuk membuat para pembuat kebijakan bersikap responsive terhadap tuntutan dan kepentingan mereka. Karena alas an inilah, maka kelompok inti para investor pribumi mendadak sontak memperoleh kekayaan, kedudukan yang meningkat, dan bahkan status mobilitas yang meningkat selama tahun-tahun terakhir boom minyak.

Menilai Dampak Boom Minyak: Pandangan Makro

Sekalipun kurun waktu sembilan tahun yang dimulai pada akhir 1973 merupakan suatu tahapan yang jelas dalam ekonomi politik Indonesia berkat kenaikan yang luar biasa besarnya dalam akses negara secara langsung pada sumberdaya yang kiranya dapat diguanakan untuk memenuhi kebutuhan investasi masyarakat, boom minyak itu sama sekali tidak seragam.
Suatu pertanyaan yang jelas muncul adalah ke tangan lembaga mana, atau bahkan ke tangan pribadi siapa, hasil minyak itu mengalir, dan untuk tujuan apa sumberdaya ini diarahkan. Mulai dengan pandangan makro, adalah jelas bahw boom minyak mempunyai dampak yang besar sekali pada pendapatan pemerintah secara keseluruhan dan, yang lebih penting lagi, pada sumbangan relatif yang diberikan oleh sumber-sumber yang berbeda. Basis sumberdaya negara Orde baru selalu berupa sebuah pundi-pundi campuran: sebagian dari pajak perusahaan dan pajak pendapatan, sebagian dari keuntungan perusahaan negara, sebagian lagi dari kredit dan hibah luar negeri.
Unsur yang paling mengejutkan dari basis sumber daya negara Indonesia adalah sumbangan terhadap pendapatan negara yang berubah cepat dari sector minyak. Pendapatan yang berkaitan dengan minyak tahun 1966 berperan atas sebagian kecil saja dari seluruh pendapatan. Angka ini meningkat dengan pasti menjadi kira-kira sepertiga dari pendapatan dalam tahun fiskal 1973-1974. Sesudah itu naik pesat menjadi separoh dari semua penerimaan pemerintah dalam tahun 1974-1975. Lalu memuncak pada tahun 1981-1982 sebesar 62 persen. Keadaan ini menunjukkan bahwa penurunan setelah boom minyak mula-mula berlangsung perlahan-lahan dan kemudian menukik tajam pada tahun 1985-1986. Pada tahun 1990 sumbangan terhadap pendapatan negara dari sector minyak diperkirakan hanya sedikit di atas 20 persen kurang lebih setara dengan sumbangannya pada tahu 1970. Sumbangan rata-rata waktu sebelum, selama dan sesudah boom masing-masing adalah 30 persen, 55 persen, dan 43 persen.
Untuk memperoleh pengertian dana mana yang mengalir ke dalam perbendaharaan negara mempunyai sedikit ikatan perysaratan eksternal yang paling sedikit, adalah perlu untuk melihat pada data pendapatan Indonesia secara lebih terperinci. Anggaran rutin di sisi pendapatan, terdiri dari penerimaan pajak (termasuk pajak atas pertamina) dan tarif dan, pada sisi pengeluaran, terdiri dari jatah beras dan gaji pokok pegawai negeri dan militer. Uang yang dikeluarkan untuk pembangunan berasal dari dua sumber utama: hibah atau kredit luar negeri dan surplus yang tersisa setelah pengeluaran rutin dikurangkan dari pendapatan rutin.
Ada factor kontekstual atau lingkungan yang berfungsi untuk meningkatkan dan mencairkan dampak boom minyak. Dengan memusatkan perhatian pada momentum gelombang kenaikan akhir 1973, kita melihat bahwa peluang untuk melepaskan diri dari kebijakan-kebijakan delapan tahun sebelumnya bahkan lebih berumur pendek dari pada
Oleh pola penurunan bertahap. Alasannya adalah bahwa sumberdaya rejeki nomplok yang membanjir masuk harus digunakan hampir seketika untuk mengendalikan kerusakan yang timbul akibat dua malapetaka menyelip di antara boom minyak itu sendiri. Pertama adalah kekeringan berat yang menyebabkan gagalnya panen padi pada tahun 1971 dan 1973. Krisis kedua adalah kebangkrutan Pertamina.


Tanggapan Mobile Capital dan Peran-peran Tim Sepuluh
Para konsultan yang disewa para menteri ekonomi memberikan perhatian yang paling besar kepada empat factor yang dianggap paling berperan atas prilaku para investor. Kempat-empatnya berkenaan dengan usaha para pejabat untuk mengenakan pengendalian yang lebih besar terhadap proses investasi. Pertama adalah perangkat kebijakan yang menurut pemerintah dirancang untuk memajukan para pengusaha pribumi. Konsultan menteri mengarahkan kebijakan seperti di Hong Kong, dimana pemerintah tidak membedakan antara perusahan local dan luar negeri. Memberi petunjuk dengan kuat bahwa para pembuat kebijakan Indonesia sangat keliru untuk mencoba memimpin dan bukan mengikuti sector swasta.
Faktor kedua berkenaan dengan persoalan tidak bisa diperhitungkannya system di Indonesia, dimana kebijakan-kebijakan hampir berulang dalam waktu semalam saja dan rumusan tertentu dari suatu peraturan jauh kurang penting disbanding dengan penafsiran dari pejabat yang kebetulan duduk di belakang meja.
Faktor ketiga, yang sekali lagi menempatkan Indonesia dalam suatu pandangan komparatif, berkaitan dengan lembaga pemerintah terpenting yang menangani investasi. Di Indonesia , penekanan BPKM bukanlah untuk melancarkan jalan para investor melainkan untuk mengkoordinasi kepentingan berbagai departemen pemerintah. Berdasarkan rekomendasi para analis inilah BKPM dirombak pada akhir 1977 dan dijadikan pelayanan satu pintu. Tampaknya perbaikan yang terjadi adalah kecil.
Faktor kekmpat menerima perhatian cukup besar dan terutama relevan bagi argumen yang lebih luas dalam buku ini. Kembali ke kebijakan baru Indonesia yang mengambil dan memilih di antara para investor yang secara nyata atas dasar kebangsaaan dan kesukuaan. Para analis mengajukan argumentasi kuat bahwa Indonesia mengakui kenyataan mengenai mobilitas kaum investor: “Kebijakan yang berorientasi sosial semacam itu mungkin secara keseluruhan bisa dikagumi, tetapi kebanyakan investor asing, khususnya yang terlibat dalam usaha mufaktur yang berlawanan dengan industri ekstraktif, dapat membuat pilihan yang cukup canggih antara Indonesia dan negara-negara tetangga lainnya sebagai tempat bagi investasi baru mereka.
Proses penentuan dan perubahan kebijakan ekonomi terus berjalan meski berkali-kali mendapat sorotan dari berbagai lembaga ekonomi regional maupun internasional. Kebijakan yang dirancang seperti halnya beberapa undang-undang serupa sebelumnya, terutama ditujukan untuk membujuk para investor pribumi kecil dan menegah yang terkena dampak paling buruk oleh devaluasi bulan Novomber 1978. Dalam waktu satu tahun Tim Sepuluh telah lahir. Mungkin tim ini merupakan badan pemerintah non militer yang paling kuat dan paling jahat yang ada di Indonesia sejak masa kejayaan Ibnu Sutowo di Pertamina.
Dengan adanya reputasi Tim Sepuluh sebagai tempat pengendalian pemerintah yang berjangkauan jauh dan suatu kantong bagi uang suap kepada para pejabat dan kontrak bagi setiap orang dari para pendukung rezim Suharto terhadap anak-anak Presiden.
Besarnya sumberdaya yang diputuskan melalui proses pengesahan Tim Sepuluh sengat mengejutkan. Menurut laporan akhir tim, selama delapan tahun beroperasi tim itu telah memberikan kontrak senilai Rp 52 trilyun untuk pengadaan pemerintah.
Dengan menempatkan besarnya jumlah itu dalam suatu perspektif, harap diingat bahwa seluruh surplus pemerintah berdasar kebijakansanaan untuk pengeluaran pembangunan dari tahun 1980 sampai 1988 hanya berjumlah Rp 43 trilyun. Bahkan kalau 3 trilyun lagi dimasukkan berupa bantuan “program”, dimana terdapat kebijaksanaan pemerintah yang cukup besar, jumlah dana yang tidak dialokasikan unuk kurun waktu itu hanya berjumlah Rp 46 trilyun. Dengan kata lain Tim sepuluh mengendalikan semua dana kebijaksanaan domestik selama beroperasi dan di luar kebijaksanaan itu masih ada 6 trilyuan lagi (kemungkinan besar adalah uang yang dikendalikan oleh negara-negara kriditor untuk proyek-proyek yang mereka biayai)
Orang-orang yang menyusun laporan akhir Tim Sepuluh keluar dari kebiasaannya untuk mengecilkan aspek klientelis dari operasi mereka. Dengan melihat begitu saja pada teks laporan maupun berbagai pernyataan selama tahun-tahun itu oleh Sudharmono dan Ginanjar. Pesan yang ingin disampaikan oleh para pejabat ini adalah bahwa mereka menaruh perhatian pada ditutupnya kebocoran-kebocoran dalam prosedur pengadaan pemerintah dan, seperti yang selalu terjadi, dengan memberi dorongan kepada para produsen dan pemasok barang dan jasa pribumi yang diberi oleh pemerintah.
Laporan akhir Tim Sepuluh memperlihatkan bahwa uang yang disimpan dengan memotong pemborosan pemerintah menjadi hanya 4 persen dari semua kontrak yang diberikan, suatu angka yang mungkin ditimbulkan oleh dalam anggaran saja untuk mempertahankan agar semua tangan-tangan Tim Sepuluh yang banyak jumlahnya itu terus bergerak selama delapan tahun. Seorang pejabat tinggi pada Departemen keuangan menyebutkan bahwa pada mulanya Tim Sepuluh menyelesaikan beberapa hal secara baik untuk pemerintah, tetapi kemudian SEKNEG mengambil alih. Ia memperparah keadaan, bahkan mesin tulis pun dibeli secara terpusat. Sudarmono menggunakan operasi ini untuk mengadakan kontrak bagi anak-anak presiden. Ia sangat kotor. Dengan mencobah menjaukan kaum ekonom dari Tim Sepuluh dan permainan patronase itu, setiap orang berhubungan dengannya, tambah pejabat itu. Melakukan ini adalah gagasan Sudharmono sendiri, bukan gagasanWidjoyo.
Apa yang dilakukan oleh Tim Sepuluh pada dasarnya adalah menarik kekuatan patronase ke atas dan ke pusat, serta menaikkan ke tingkat kebijakan nasional formal suatu polah pengelolaan mikro yang ketat atas peluang dan keberhasilan di seluruh nusantara yang sebelumnya tidak ada.
Sekalipun perubahan-perubahan mendasar dalam akses negara kepada sumberdaya membantu memperhitungkan perubahan-perubahan dalam intensitas dan kedayagunaan kekuatan pengaruh structural para investor, khususnya kemampuan untuk menimbulkann biaya politik yang dipahami oleh para pembuat kebijakan sebagai tidak mengikuti kebijakan yang kompetitif dan berorientasikan pasar. Kebijakan-kebijakan ini sama sakali tidak menentukan arah kebijakan berikutnya.
Dikatan secara lain, suatu pertimbangan mengenai kekuatan structural capital controller adalah paling bermanfaat dalam memperkirakan watak atau arah kebijakan suatu negara apabilah dampak dari kekuatan structural itu tinggi. Apabila daya pengaruh structural para investor itu diblokir secara efektif, seperti selama boom minyak di Indonesia, orang dapat memperhitungkan arah kebijakan hanya dengan melihat p[ada factor-faktor kontekstual yang sangat berbeda-beda dari yuridiski satu ke yuridiski lain.

Di Indonesia terdapat suatu ketegangan mendasar di dalam barisan para pengendali modal antara pelaku pendukung pasar dan pelaku yang kepentingannya justru terletak dalam hubungan patro-klien di negara itu atas peranan yang seharusnya di lakukan oleh alokasi pasar dari peluang investasi.

Tidak ada komentar:

Selamat Datang

"Berbahagia menyambut kedatangan anda di blog ini. Semoga ada manfaat yang anda bawa dan sekaligus meninggalkan manfaat untuk kesuksesan bersama".
Birunya laut seakan mewakili suasana lagit tempat muara pikir dan dzikir bertabur. Saya menunggu karya-karya anda yang melampaui gagasan dan batas-batas imajiner langit.