03 April 2008

ETNOMETODOLOGI STUDI PEMBANGUNAN

Pendahuluan
Perdebatan metodologi dengan penekanan pendekatan kuantitatif dan kualitatif adalah perdebatan klasik yang selalu hangat dibicarakan. Untuk beberapa kasus penelitian sering terjadi klaim-klaim keunggulan antara satu dengan yang lainnya. Meskipun upaya mencari titik temu antara kedua pendekatan ini juga dimunculkan untuk mengurangi ketegangan sekaligus menawarkan pemikiran alternatif. Tulisan ini (etnometodologi studi pembangunan) termasuk mencoba memposisikan diri pada kelompok yang terakhir yakni, menunjukkan ruang di mana pendekatan kuantitatif dan kualitatif saling melengkapi .
Critical Review yang dikehendaki pada tulisan ini akan mengalami kesulitan-kesulitan tertentu jika tidak diupayakan mengembangkan konseptualisasi dengan dukungan data dari perdebatan awal metodologi dalam ilmu-ilmu sosial. Pemahaman yang memadai akan warisan perdebatan ini paling tidak dapat membantu kita untuk membaca dan mengerti hasil-hasil penelitian sampai pada taraf epistimologi dan implementasi.
Adalah Habermas yang menaruh keprihatinan atas pertentangan antara logika ilmu alam dan ilmu-ilmu humaniora. Meskipun jauh sebelumnya Max Weber juga telah ikut terlibat dalam perselisihan metode (methodenstreit) dalam upaya menentukan status keilmuan dari disiplin ekonomi. Perdebatan pada waktu itu adalah berupaya menjawab pertanyaan apakah ilmu ekonomi merupakan ilmu dengan logika nomologis ataukah juga memasukkan logika ideografis sehingga selain ada aspek teoritis metodologis (matematis) juga ada dimensi historis.
Perdebatan itu masih berlangsung hingga sekarang sehingga melahirkan perang yang tidak berkesudahan, meskipun berbagai upaya untuk menyatukan metode (seperti yang dicita-citakan Habermas) juga sedang berlangsung, sehingga terjadi perdebatan antara faham ekonometrik berhadapan dengan ekonomi yang berwawasan sosial budaya (kelembagaan).
Implikasi dari pengetahuan tentang perdebatan metodologi tersebut akan menumbuhkan kesadaran atas wawasan epistimologi. Tanpa memahami perdebatan metodologi yang telah terjadi sebelumnya seseorang dapat keliru dalam memilih metode penelitian sehingga hasil penelitian menjadi kehilangan relevansi. Demikian pula dalam hal membaca hasil-hasil dari penelitian baik yang menggunakan pendekatan kuantitatif maupun kualitatif.
Dalam konteks penelitian dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif di Jawa Tengah, Michael R. Dove kembali memasuki wilayah perdebatan metodologi. Kata kuci yang digunakan baik di awal maupun pada akhir argumentasinya adalah “fakta sosia”. Dove tidak menafikkan peran statistik dalam riset-riset pembangunan, tetapi juga tidak membenarkan untuk semua hal. Mempergunakan statistik dalam banyak hal justru memungkinkan timbulnya kegagalan membangun kesadaran akan arti fakta sosial. Padahal kesadaran akan fakta sosial memiliki peran penting dan akan mengarahkan kita untuk bertanya lebih lanjut, apa sebenarnya fakta sosial itu.
Bahasa yang sedikit ekstrim digunakan Dove untuk menyebut pembangunan desa yang kebanyakan menyandarkan ukuran keberhasilannya dari proses kuantifikasi adalah sebagai ilmu pengetahuan kuatitatif. Argumentasinya adalah bahwa, kuantifikasi yang terlalu dipercaya ini telah menyebabkan adanya kelemahan-kelemahan dalam kebanyakan kerja pembangunan di masa lampau ataupun masa kini.
Dove tampaknya menyadari pentingnya memahami data-data kualitatif dan data-data kualitatif yang didasarkan pada perbedaan epistimologi. Sebab kegagalan pemahaman pada tingkat ini akan berdampak pada buruknya pemahaman terhadap data kuantitatif maupun kualitatif. Pemahaman yang buruk dan keliru atas pembacaan data kedua pendekatan ini pada akhirnya lebih jauh mengalami kegagalan sampai kepada tingkat implementasi pembangunan.
Dasar-dasar historis akhirnya menjadi pilihan Dove untuk memulai perdebatan metode kualitatif dan kuantitatif. Dari penjelasan historis kemudian dilanjutkan pada kritik terhadap penerapannya dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Tidak ketinggalan contoh-contoh hasil penelitian pada pembangunan pertanian dengan pendekatan kuantitatif yang mengalami bias dalam memperoleh dan membaca data.

Kritik Mengenai Analisa Kuantitatif
Emile Durkheim merupakan seorang ilmuwan ilmu sosial yang telah mengembangkan dan mendayagunakan sistem analisa kuantitatif. Dalam studinya mengenai bunuh diri di Prancis, yang diterbitkan pada 1897 dia menulis bahwa, meskipun dia tidak bisa meramalkan apakah seseorang akan atau tidak akan melakukan bunuh diri dalam suatu tahun tertentu, dia bisa meramalkan tingkat persentase yang akan melakukan bunuh diri dari populasi secara keseluruhan.
Apabila populasi kemudian dibagi menjadi sub bagian golongan Katolik dan golongan Protestan, dia mengatakan bahwa, prosentase bunuh diri bisa diramalkan akan lebih tinggi di antara golongan yang nomor dua daripada yang pertama. Menurut Durkeim, hal ini karena sifat integrative agama yang pertama dan sifat disintegratif dari agama yang kedua.
Studi yang dilakukan oleh Durkheim tetap merupakan suatu pernyataan pelopor atas adanya fakta bahwa sikap-tindak kelompok (group behavior) itu bisa diramalkan walaupun tidak bisa untuk sikap-tindak perseorangan. Studinya juga sekaligus menunjukkan bagaimana ilmu berhitung bisa mengubah realitas sosial.
Yang menarik diperhatikan di sini adalah kesimpulan yang diambil oleh Durkheim dalam karyanya yang berjudul The Social Meaning of Suicide ternyata menjadi penyebab Doglas menyerangnya. Doglas menyerang kesimpulan Durkheim yang mengatakan golongan Protestan lebih banyak melakukan bunuh diri daripada golongan Katolik. Serangannya dipusatkan pada sifat data dan persepsi Durkheim atas sifat tersebut. Kesalahan Durkheim terutama dalam mempergunakan statistik pada insiden melakukan bunuh diri pada Protestan dan Katolik sebagai fakta-fakta mengenai bunuh diri.
Menurut Doglas, statistik bukanlah fakta-fakta sama sekali, tetapi sama dengan interpretasi mengenai fakta-fakta. Antara bunuh diri pada golongan Katolik dan Protestan terpaksa memperoleh tafsiran yang berbeda tentang bunuh diri secara statistik hanya karena adanya perintah keagamaan yang lebih keras untuk tidak melakukan bunuh diri pada golongan Katolik. Laporan yang berbeda-beda semacam ini menurut Doglas melemahkan atau menggagalkan kesimpulan yang diambil oleh Durkheim. Penekanan yang sesungguhnya ingin disampaikan oleh Doglas adalah bahwa statistik tidak bisa dipakai begitu saja atau dengan fase value. Lebih baik semua itu dikenal sebagaimana adanya. Bukan sebagai realitas sosial atau pun fakta sosial, tetapi sebagai interpretasi dari realitas atau fakta tersebut.
Kegagalan untuk menangkap fakta sosial di balik atau di luar statistik khususnya, merupakan warisan dari tradisi yang dicetuskan oleh Durkeim hampir satu abad yang lalu. Kegagalan semacam ini hampir ditemukan dalam kasus-kasus penelitian serupa. Kritik-kritik mengenai revolusi hijau misalnya, pada umumnya menunjukkan arti penting dari data kualitatif, khususnya, dari pandangan lokal dan asli terhadap kehidupan. Antropologi dinilai oleh Dove sesuatu yang bersifat unik dalam memberikan kepada kita pandangan orang mengenai diri mereka sendiri. Karena data-data dari ilmu pengetahuan ini merupakan pemikiran-pemikiran dari rakyat dan bukan dari para ahlinya.
Alasan yang menarik untuk diperhatikan adalah anggapan dasar yang selalu menjadi kritikan bidang ilmu lain (ilmu alam) terhadap ilmu sosial yakni, datanya kadang-kadang dicela sebagai bersifat “subyektif”. Memang data-data itu bersifat subyektif apabila dipandang dari sudut rakyat atau informannya, tetapi pasti data-data itu tidak bersifat subyektif apabila dipandang dari sudut para antropolog.
Bagunan dasar yang menjadi perdebatan antara kuantitatif dan kualitatif sebagaimana dikemukakan di atas menjadi penyebab adanya perbedaan-perbedaan ketika saling menilai hasil penelitian masing-masing. Artinya, perbedaan tidak hanya pada tataran teknis, melainkan juga sampai pada perbedaan epistimologi.
Perbedaan dalam cara melihat dan merumuskan realitas akan melahirkan perbedaan-perbedaan proposisi tentang hakekat realitas tersebut beserta konsekuensi-konsekuensinya. Perbedaan pemahaman tentang sesuatu yang dianggap riil, akan diikuti pula oleh munculnya cara yang berbeda dalam memilih data yang relevan bagi realitas tersebut, dan strategi yang berbeda dalam mengumpulkan data. Aspek-aspek investigasi dan pemahaman ini menjadi bagian utuh dari semua sistem makna tadi. Tendensi semacam ini biasanya diterangkan dengan melihat isu-isu ontologi, epistimologi, metodologi dan metode.
Berikut ini beberapa contoh dari hasil penelitian pembangunan yang dilakukan di Jawa Tengah dengan pendekatan kuantitatif dan selanjutnya akan dianalisis mengenai hasil dari penelitian tersebut dengan pendekatan kualitatif.

Sistem Maro
Contoh yang pertama, dari daerah Sleman di lembah (daratan rendah) Jawa Tengah, berkenaan dengan suatu jenis pembagian hasil panen yang disebut maro. Secara tradisi pembagian hasil panen yang paling umum di daerah ini adalah, para petani memberikan semua input pertanian kecuali tanhnya itu sendiri, dan kemudian membagi hasil panen (dibagi dua) dengan pemilik tanah.
Terdapat kekacauan sistem dari kasus ini sebagai akibat yang tidak diperhitungkan sebelumnya dalam program revolusi hijau. Hal ini disebabkan oleh adanya fakta bahwa, dengan digunakannya varietas-varietas padi yang bisa berproduksi tinggi daripada out put (pengeluaran). Permasalahan bagi petani maro adalah bahwa, setiap peningkatan pembiayaan per unit hasil panen dirasakan pada tingkat lipat-dua karena mereka harus membagi hasil panen tersebut dengan pemilik tanah. Pemilik tanah tidak memikul beban naiknya ongkos pembiayaan karena tidak memberikan apapun kecuali tanah tadi. Namun pemilik tanah turut menerima separuh dari kenaikan hasil. Ketidakseimbangan ini sedemikian rupa sehingga tatanan maro tidak akan bertahan lama dalam kondisi-kondisi demikian.
Dalam situasi ketidakseimbangan, petani maro bisa berpindah ke bentuk lain dalam pembagian hasil panen, walaupun biasanya kurang mereka senangi, sebab memberikan pada petani suatu pendapatan yang lebih besar daripada yang didapatnya dengan sistem maro. Bisa juga dengan sistem maro, tetapi dengan memperkecil atau menghilangkan berbagai input yang mahal yang harus dipenuhi untuk penanaman varietas-varietas padi dengan hasil prosuksi tinggi. Strategi yang terakhir ini tentunya berakibat kurang baik bagi penanaman varietas-varietas itu.
Apa sesungguhnya yang ingin diperhatikan dalam kasus petani dengan sistem maro ini adalah sebuah hasil penelitian yang secara signifikan terutama dalam kalkulasi ekonomis program revolusi hijau berhasil meningkatkan hasil pertanian, tetapi gagal memberikan keseimbangan penghasilan antara petani penggarap dan petani pemilik tanah.
Terjadi perbedaan pemaknaan antara petani penggarap dengan pengambil kebijakan pembangunan. Di satu sisi program revolusi hijau dipandang oleh peneliti sebagai sebuah keberhasilan pembangunan, sementara dalam waktu yang bersamaan petani penggarap tidak melihatnya sebagai upaya sistematis yang dilakukan untuk meningkatkan penghasilan mereka. Terbukti dengan tingginya biaya input yang harus dikeluarkan petani penggarap tetapi tidak memberikan hasil yang lebih besar karena tetap juga harus berbagi keuntungan dengan pemilik tanah yang sama sekali tidak punya andil dalam program tersebut kecuali menyediakan tanah.

Pengaruh Bimas
Contoh hasil penelitian kedua adalah program Bimas atas kehidupan desa di Sleman. Program ini beresiko tinggi untuk mengalami kegagalan karena kesalahan penerapan data statistik. Program ini menyediakan kredit keuangan pemerintah kepada para petani yang ingin mengambil dan menggunakan input-input teknologi yang dibutuhkan dalam penanaman padi produksi tinggi. Programnya diperuntukkan bagi para petani dengan pemilikan tanah yang luasnya sekitar setengah hektar atau lebih. Hal ini berarti bahwa secara statistik sasaran program ini hanya diperuntukkan bagi sebagian kecil petani di Jawa. Untuk Sleman hanya 23 persen. Meskipun begitu, di daerah ini para petani yang lebih kecil jumlahnya bisa menggunakan keuntungan-keuntungan dari program Bimas dengan membeli pupuk, pestisida, dan sebagainya dari petugas pelaksana program tersebut.
Adanya pengaturan-pengaturan semacam ini mempunyai beberapa implikasi untuk program Bimas. Pertama, fakta bahwa para petani kecil ini dengan sukarela menggunakan kredit-kredit dengan input-input teknologi. Artinya, petani yang jumlahnya 77 persen di luar dari sasaran program Bimas ternyata memperlihatkan bahwa, mereka justru sanggup atau mampu mempergunakannya. Hal ini berarti bahwa suatu penyebaran resmi untuk program Bimas kepada para petani kecil mungkin diperlukan. Meskipun mungkin para petani mengungkapkan rasa puas mereka dengan peran tidak resmi dalam program Bimas sekarang, hal ini dapat merugikan program itu secara keseluruhan.
Karena partisipasi mereka tidak kentara dan dan tak diharapkan, dapat berarti bahwa input-input pertanian dari program Bimas sebenarnya sedang disalurkan kepada para petani yang lebih besar jumlahnya, dan demikian juga dengan areal yang lebih luas daripada yang dimaksudkan. Berkurangnya input-input ini mungkin bisa membahayakan keberhasilan program tersebut. Misal, input per unit daerah jatuh hingga melampaui batas-batas kritis.
Dari contoh hasil penelitian program Bimas kembali ditunjukkan bahwa ada proses-proses kebijakan pengembangan program Bimas yang sebelumnya dilakukan dengan kalkulasi statistik mengalami kegagalan pemaknaan terhadap sasaran. Kegagalan semacam ini tetap berkaitan dengan kata kunci yang digunakan Dove untuk mengkritisi hasil-hasil penelitian pembangunan pertanian, yakni kesadaran tentang fakta sosial.

Peranan Sepedamotor di Desa
Contoh ketiga adalah hasil dari sebuah penelitian yang bermaksud melihat pengaruh spedamotor bagi kehidupan pedesaan di Sleman. Asumsi awal penelitian ini melihat adanya perkembangan pesat dalam pemilikan dan pengguna sepedamotor di seluruh propinsi sebesar 28 persen pertahun dalam priode 1977-1981.
Dalam pemakaiannya, orang-orang desa kurang setuju dengan cara mengendarai sepedamotor yang gila-gilaan, membahayakan, dan tidak menuruti hukum. Dasar dari kekurang setujuan ini adalah meningkatnya jumlah kecelakaan dan kematian yang berhubungan dengan lalu lintas. Meskipun demikian setidak-tidaknya terdapat keprihatinan yang sama besarnya atas akibat tidak langsung dari fenomena ini. Salah satu akibat tidak langsung yang paling penting adalah, melemahnya kontrol sosial yang tradisional dan hal ini tidak dapat diharapkan.
Bisa dikatakan ada pertautan antara pengguna sepedamotor dengan pola sikap tindak khusus atau mungkin bersifat unik. Pola ini ditandai dengan sifat kepribadian, sifat anonomous, dan sifat existential, yang nampaknya tanpa disertai dengan teladan dalam masyarakat Jawa tradisional. Apabila interaksi dilakukan dalam konteks tradisionil, dia akan berpartisipasi sebagai suatu bagian dari kelompok, di mana peraturan dan norma menekan sikap-tindaknya akan disalurkan ke arah yang bisa diterima kelompok itu. Tekanan-tekanan itu semakin diperkuat dengan adanya fakta bahwa identitas khususnya dikenali oleh orang-orang lain dalam pertemuan itu.
Pertemuan dalam konteks tradisionil sangat berbeda dengan pertemuan yang terjadi di jalan sewaktu menggunakan sepeda motor. Pertama, pertemuan sewaktu menggunakan sepeda motor hanya melibatkan dua pengendara yang saling terpisah. Karena hal ini, dan juga karena sifat mudah bergerak (mobilitas) serta kecepatan sepeda motor, semua ini menjadi pertemuan-pertemuan antar orang asing yang tidak saling mengenal, dan karena sifat individu ini, pertemuan di jalan tersebut mempunyai penekanan pada diri pribadi, bukan pada orang lain yang jauh dari sifat-sifat khusus pertemuan tradisionil. Ini mungkin merupakan satu sebab bagi pengembangan penggunaan sepedamotor, yaitu fakta bahwa hal ini membantu pelepasan diri dari tekanan-tekanan tradisional yang sering sangat memberatkan..
Penelitian ini sesungguhnya ingin menunjukkan bahwa sikap-tindak pengguna sepedamotor telah memungkinkan diperoleh sifat yang ekstrim karena sistem hukumnya. Walaupun kepemilikan sepedamotor naik 28 persen per tahun, insiden pelanggaran di seluruh propinsi telah naik dengan 144 persen per tahun untuk segala jenis kendaraan bermotor. Meningkatnya kecemasan orang-orang desa atas suatu dunia di mana peraturan-peraturan yang baru belum lagi ada, belum diketahui, tidak bisa dimengerti, atau tidak jelas.

Kapal Pukat di Jepara
Contoh terakhir yang dapat memperlihatkan kegagalan dalam mensingkronkan antara statistik sosial dan fakta sosial adalah penelitian tentang pengaruh kapal-kapal pukat terhadap desa-desa nelayan di Jepara, pantai utara Jawa Tengah sejak 1972 sampai 1981. Penelitian ini menjelaskan bahwa dikembangkannya kapal pukat menimbulkan peningkatan efisiensi dan produktifitas industri perikanan pantai utara; dan ini dapat dikatakan sebagai keberhasilan pembangunan.
Meski penelitian ini menunjukkan adanya keberhasilan pembangunan, tetapi ada dua alasan yang dapat menunjukkan kesimpulan tersebut mengalami kesulitan pembacaan terhadap realitas sosial. Pertama, kapal-kapal pukat jelas mengakibatkan pengurangan sumber perikanan jangka panjang. Dipandang dari segi manapun ini tidak diinginkan kecuali mungkin bagi para pemilik pukat itu. Kedua, kapal-kapal pukat itu betul-betul merusak kehidupan dan kesejahteraan para nelayan kecil di sepanjang pantai tersebut.

Kritik dan Kesimpulan
Dari contoh-contoh yang dikemukakan memberikan kemungkinan jurang yang ada antara statistik sosial dan fakta sosial. Apa yang ingin disampaikan Dove dalam tulisan ini adalah bahwa, pengaruh-pengaruh dari luar terhadap obyek penelitian dapat salah dalam analisa-analisa. Suatu analisa yang lebih sensitif dapat memperbaiki pengertian, pengendalian, dan memonitoring pengaruh-pengaruhnya.
Yang menjadi argumentasi Dove adalah bahwa analisa yang lebih baik dan tepat dari fenomena sosial akan terdapat pada taksiran yang tepat dari data kuantitatif dan analisa kualitatif dalam ilmu pengetahuan pembangunan. Sebagian studi pembangunan menjadi kurang benar karena penggunaan statistik yang buruk. Ini merupakan permasalahn yang asli. Tetapi ini bukan permasalahan terutama dalam studi demikian. Bahkan dengan menggunakan statistik yang baik pun masih terdapat masalah. Peremasalahan-permasalahan ini berhubungan dengan anggapan sifat epistimologis dari statistik sikap tindak (misal, sosial ekonomi).
Dalam studi-atudi pembangunan sangat sering ada anggapan bahwa, statistik yang digunakan sebagai data primer merupakan gambran langsung dari sikap-tindak nyata dunia yang sebenarnya. Tidak ada statistik mengenai tindak-tindak itu di dunia yang nyata. Semua statistik demikian merupakan gambaran suatu seleksi dan abstraksi dari fenomena asli dunia nyata. Seleksi srta abstraksi ini seyogyanya didasarkan atas analisa-analisa kualitatif dari fenomena-fenomena tersebut.
Bila kita kembali kepada contoh terdahulu, tingkat pendapatan tidaklah ada. Sebenarnya apa yang disebut “pendapatan bersih” di dunia nyata . “Pendapatan bersih” itu tidak lebih daripada suatu rekaan konstruksi analisa, yang dikembangkan oleh para ekonom dan dipergunakan untuk menafsirkan dan meramalkan sikap-tindak yang ada pada suatu desa. Dalam mengembangkan rekaan konstruksi ini, ekonom yang menentukan apa itu “pendapatan” dan apa yang tidak boleh disebut pendapatan.
Apabila para ekonom dapat menggunakan rekaan konstruksi ini untuk meramalkan sikap-tindak secara sempurna dan berhasil, ini berarti bahwa ia merupakan rekaan konstruksi yang berguna. Tetapi tidak berarti bahwa, sifat epistimologis dari rekaan konstruksi bisa berarti lain daripada hanya suatu abstraksi dan interpretasi dari realitas sikap-tindak, yang berlainan dengan kenyataan realitasnya.
Fakta bahwa tidak ada angka-angka di dunia yang nyata, dan bahwa semua angka-angka didasarkan pada penilaian secara kualitatis data, hal ini mempunyai implikasi penting bagi metodologi dalam studi pembangunan. Sering dikatakan bahwa, studi-studi pembangunan jangka pendek seharusnya dipusatkan pada pengumpulan dan penilaian dari apa yang disebut data kuantitatif saja, karena adanya keterbatasan waktu yang tidak memungkinkan pengumpulan dan pendayagunaan data-data kualitatif, selayaknya sekarang sudah jelas bahwa hal itu tidak betul. Karena semua data kuantitatif mengenai sikap-tindak manusia didasarkan atas penilaian kualitatif sikap tindakan tersebut, pengumpulan data kuantitatif tidak akan dapat lebih cepat daripada pengumpulan data kualitatif, dan penipuan diri sendiri yang berkenaan dengan ketergantungan pada yang pertama tidak akan menghasilkan suatu studi yang lebih baik daripada kesadaran diri untuk bergantung.
Kesalahan dalam penggunaan statistik sosio-ekonomi ialah, karena ia dianggap sebagai data primer disbanding dengan interpretasi skunder dari data tersebut. Kesalahan kedua adalah anggapan bahwa statistik mengenai populasi besar mutlak lebih baik daripada populasi kecil. Tidak ada pernyataan yang sama sekali tidak betul, atau sama sekali tidak berguna apabila semua didasarkan atas populasi yang kecil atau sample yang kecil dari populasi.
Penilaian atas statistik sosial memang didasarkan pada argumentasi antropologis dan data kualitatif dalam studi-studi menganai pembangunan. Ini bukan berarti para antropolog tidak mengalami kesulitan dalam meninggalkan semua pre konsepsi (pra-anggapan) dan prasangka-prasangka dari kebudayaannya sendiri dikala mempelajari sesuatu kebudayaan asing. Bukan pula maksudnya mengatakan bahw adata dan analisa statistik selalu tidak dapat dipercaya dan tidak relevan lagi.
Kembali pada Durkeim, pengertian dari karyanya bukanlah hanya berarti bahwa, analisa-analisa kualitatif itu selalu melanggar validitas analisa kuantitatif. Pengertian yang sebenarnya adalah bahwa, kedua macam analisa tersebut dapat memberikan informasi dan mengarahkan pada lain sebagaimana mestinya. Keduanya bukan merupakan suatu alternatif bagi yang lain tetapi merupakan aspek pelengkap dari satu-satunya pendekatan bagi analisa realitas sosial.
Yang ingin diluruskan dalam kajian ini adalah bahaya anggapan bahwa, metodologi merupakan suatu faktor tetap, yang tidak terpengaruh oleh prasangka-prasangka khusus dari peneliti dan yang tidak mempengaruhi hasil risetnya. Tampak adanya bahaya anggapan bahwa apa yang kita lihat atau tangkap dan kita perlakukan sebagai fakta-fakta sosial, memang fakta-fakta sosial. Kesadaran ini mengarahkan perhatian kita pada apa yang akan merupakan pertanyaan awal dalam segala penyelidikan sosial yaitu, apakah fakta-fakta sosial itu.
Perdebatan klasik tentang metodologi dalam ilmu-ilmu sosial pada akhirnya bermuara pada pemaknaan tentang realitas sosial. Dari pertanyaan sederhana inilah melahirkan sekurang-kurangnya tiga metodologi ilmu pengetahuan. Pertama, positivisme sebagai awal revolusi struktur ilmu. Kedua, hermeunetik historical sebagai metodologi yang berusaha membangun teori atau filsafat ilmu pengetahuan tentang interpretasi makna. Ketiga, kritik sosial yang berusaha menghubungkan pengertian antara pengetahuan (knowledge) dan aksi (action). Jika positivisme berusah mencari penjelasan (explanation), maka hermeunetik hestorikal berusaha mencari pemahaman (understanding), sedangkan kritik sosial menjadikan refleksi diri sebagai pusat metodologi dan inti konsepnya.

06 Februari 2008

MARJINALISASI NEGARA-NEGARA DUNIA KETIGA (Sebuah Analisis Terhadap Teori Keunggulan Komparatif )

Pendahuluan
Di tengah perdebatan teori-teori pembangunan, keterbelakangan, dan kemiskinan dunia ketiga, muncul berbagai spekulasi terhadap gagalnya teori keunggulan komparatif mengimplementasikan konsepnya sampai pada tataran praxis. Ide dasar yang dikembangkan adalah keuntungan dan kesejahteraan yang diperoleh bersama antara negara industri dan negara agraris sebagai konsekuensi logis dari pembagian kerja secara internasional.
Bahkan ada kecenderungan yang kuat untuk menilai teori keunggulan komparatif sebagai bentuk eksploitasi dan penindasan terselubung negara industri terhadap negara agraris. Ini terbukti setelah negara industri semakin meraup keuntungan yang besar sementara negara agraris mengalami kemiskinan hebat.
Adalah Raul Prebich, seorang ahli ekonomi leberal, sekretaris eksekutif sebuah lembaga PBB yang didirikan pada tahun 1948 di Santiago De Chile tertarik untuk menelusuri kegagalan teori keunggulan komparatif ini. Perhatian Prebich terkonsentrasi kepada persoalan mengapa negara-negara yang melakukan spesialisasi di bidang industri menjadi negara-negara kaya, sedang mereka yang memilih bidang pertanian tetap saja miskin.
Menurut Prebrich, adanya teori Pembagian Kerja secara Internasional yang yang didasarkan kepada teori keunggulan komperatif membuat negara-negara di dunia melakukakn spesialisasi produksinya. Oleh karena itu negara di dunia terbagi menjadi dua kelompok; negara-negara pusat yang menghasilkan barang industri, dan negara pinggiran yang menghasilkan barang-barang pertanian. Keduanya saling melakukan perdagangan. Dan menurut teori di atas seharusnya keduanya saling menguntungkan dan sama-sama kaya, tetapi kenyataan menunjukkan hal yang sebaliknya. Mengapa demikian ? atau apakah teori pembagian kerja yang dimaksudkan pada akhirnya akan memarjinalkan peran negara-negara dunia ketiga ? Persoalan inilah kemudian yang akan dianalisis dengan berbagai pendekatan.
Prebrich menunjuk pada penurunan nilai tukar dari komoditi pertanian terhadap komoditi barang-barang industri. Barang-barang industri menjadi semakin mahal dibandingkan dengan barang-barang hasil pertanian. Akibatnya terjadi defisit pada neraca perdangangan negara-negara pertanian bila mereka berdagang dengan negara-negara industri. Dan defisit ini makin lama makin dirasakan menjadi beban yang besar.
Gejala ini dapat dijelaskan pertama, karena permintaan untuk barang-barang pertanian tidak elastis. Di sini berlaku apa yang disebut sebagai “Hukum Engels”, yang menyatakan bahwa pendapatan yang meningkat menyebabkan prosentasi konsumsi makanan terhadap pendapatan justru menurun. Artinya pendapatan yang naik tidak menaikkan konsumsi untuk makanan, tetapi justru menaikkan konsumsi barang-barang industri. Akibatnya, anggaran negara pertanian yang digunakan untuk mengimpor barang-barang industri dari negara-negara pusat akan semakin meningkat, sedangkan pendapatan dari hasil ekspornya relatif tetap.
Kedua, negara-negara industri sering melakukan proteksi terhadap hasil pertanian mereka sendiri sehingga sulit bagi negara pertanian untuk mengekspor ke sana. Inilah yang memperkecil jumlah ekspor negara pinggiran ke negara pusat. Ketiga, kebutuhan akan barang mentah dikurangi sebagai akibat dari adanya penemuan-penemuan teknologi baru yang dapat membuat bahan-bahan menjadi sintesis.
Jika negara pinggiran mengalami ketimpangan dari hasil pembagian kerja secara internasional, maka negara pusat yang memproduksi bahan-bahan industri justru memperoleh keberuntungan. Hal ini dapat terjadi karena pertama, kenaikan pendapatan mengakibatkan juga kenaikan pada konsumsi barang-barang industri. Karena itu kenaikan pendapatan di negara industri tidak banyak menaikkan impor barang-barang pertanian. Tetapi sebaliknya kenaikan pendapatan di negara pertanian menyebabkan meningkatnya impor barang-barang industridari negara-negara pusat.
Kedua, kemakmuran yang meningkat, dan kekuatan stabilitas politik yang relatif membaik berdampak pada membaiknya posisis tawar menawar kaum buruh. Akibatnya, upah buruh juga terus meningkat. Dampaknya kemudian adalah upah buruh menjadi semakin tinggi. Seiring dengan meningkatnya upah buruh, harga jual barang industri pun menjadi semakin mahal. Kenaikan harga barang industri ini tidak diikuti oleh kenaikan permintaan dan harga barang-barang pertanian. Sehingga pada akhirnya kesenjangan pendapatan antara negara pertanian dan industri mengalami ketimpangan. (Arief Budiman : 1996)
Yang menjadi masalah serius kemudian adalah posisi Indonesia dalam pembagian kerja ternyata bertahan lama pada kelompok negara spesial di bidang pertanian yang sangat lambat melakukan perubahan pembanguinan ekonomi dari pertanian ke industri manufaktur. Artinya, Indonesia tidak termasuk diuntungkan dalam pembagian kerja internasioanl tersebut. Akan lebih parah lagi jika melihat kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia tetap terkonsentrasi pada prioritas pembangunan di sektor pertanian dan tidak menunjukkan adanaya peningkatan di sektor industri secara signifikan.
Padahal, sektor pertanian yang sehat dalam suatu negara miskin secara material dapat juga memberi sumbangan terhadap laju pertumbuhan yang lebih cepat dan merata bagi sektor perekonomian lainnya. (Syahrir: 1991)
Persoalan ini, meski tidak dilihat sebagai satu-satunya alasan, baik dilihat sebagai kajian lokal, regional maupun internasional menjadi faktor yang menentukan dirobahnya orientasi pembangunan dari pertanian ke pembangunan industri, baik industri padat karya maupun industri padat modal.
Setidaknya tesis Tokman membantu kita untuk memperoleh gambaran dengan dukungan bukti-bukti empiris dan data di Indonesia yang menyebutkan angka-angka perbedaan produktivitas antar sektor dalam ekonomi Indonesia untuk priode 1971 – 1990 misalnya. Perbedaan produktivitas antar sektor dalam ekonomi Indonesia selama priode ini secara umum bersifat statis atau tidak meningkat. Rasio antara produktivitas sektor pertanian dengan produktivitas non pertanian praktis tidak berubah, yaitu sebesar 0,25 pada tahun 1971, sebesar 0,26 pada tahun1985 dan sebesar 0,24 pada tahun 1990. Kesenjangan antara sektor pertanian dan industri telah bertambah parah . Rasio antara sektor pertanian dan industri telah turun dari 0,56 pada tahun 1971, menjadi 0,32 pada tahun 1985, dan menjadi 0,23 pada tahun 1990. (Sritua Arief : 1997)

Perubahan Arah Pembangunan Ekonomi di Indonesia
Pada tahun 1951 diperkenalkan suatu kebijakan ekonomi yang dikenal dengan Rencana Urgensi Perekonomian. Kebijakan ini dilandasi suatu gagasan mulia yakni mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, dengan industrialisasi sebagai motornya. Sejajar dengan itu pertanian sebagai realitas dominan yang ada di masyarakat tidak dikesampingkan.
Pada Repelita I tujuan dan arah pembangunan sektor industri yang ditetapkan adalah industri yang mendukung dan saling berkaitan dengan sektor pertanian, industri yang dapat menghasilkan atau menghemat devisa dengan cara subtitusi impor, industri padat karya dan industri yang mendorong usaha-usaha pembangunan regional.
Sementara itu industri yang berkembang pada masa awal Orde Baru memperlihatkan beberapa ciri spesifik. Ciri pertama adalah; keanekaragaman sektor industri. Perusahaan yang bergerak di sektor industri ada tiga golongan yakni; perusahaan besar dan sedang yang termasuk sektor industri modern, perusahaan kecil, dan perusahan industri rumah tangga. Keanekaragaman ini membawa dampak dilema ketika harus menentukan skala prioritas antara pembangunan industri padat karya atau padat modal. Apabila tekanan diberikan kepada penciptaan lapangan kerja dan memerangi kemiskinan maka penyaluran sumber-sumber ekonomi yang ada mengalir pada perusahaan kerajinan rumah tangga yang sering kali tidak produktif dan relatif singkat usianya.
Ciri kedua adalah sempitnya basis industri dan ketergantungan pada sektor pertanian. Sedikit jumlah sektor industri yang mengolah hasil pertanian. Pada umumnya industri pertanian berkutat pada pengolahan hasil kerajinan, jarang ditemukan jenis usaha angro industri.
Ketiga adalah adanya perbedaan yang mencolok antara perkembangan industri di pulau Jawa dan pulau Luar Jawa. Pulau Jawa memiliki proporsi tenaga kerja yang lebih besar, sementara industri di Luar Jawa belum berarti banyak.
Pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang antara daerah perkotaan dan pedesaan telah menimbulkan apa yang disebut prematur urbanization (urbanisasi yang prematur) yang bersamaan dengan terjadinya apa yang disebut struktural deformation (deformasi struktural) dalam ekonomi. Tenaga kerja yang berpindah ke daerah perkotaan, yang mengalami proses pertumbuhan yang tinggi, tidak dapat ditampung secara berarti dalam sektor industri.
Ketidaksanggupan sektor industri menyerap tenaga kerja secara baik disebabkan oleh dua faktor utama. Faktor yang pertama adalah kapasitas akumulasi yang relatif rendah dalam sektor industri, sehingga terjadi apa yang disebut dynamic insufficiency (ketidakcukupan dinamis) yang disebabkan banyaknya sumber-sumber investasi yang dialokasikan untuk produksi barang-barang konsumsi mewah.sehingga surplus konsumsi tidak dapat dialokasikan untuk ekspansi kapasitas produksi. Akumulasi surplus terjadi akhirnya tidak dapat digunakan untuk menimbulkan secara luas kapasitas produksi yang baru untuk menampung tenaga kerja yang banyak. Kedua adalah penggunaan teknologi yang padat modal dalam sektor industri.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa perubahan konsentrasi kebijakan dari sektor pertanian ke sektor industri tetap menyisahkan masalah yang tidak sedikit. Persoalan yang timbul di sektor industri tidak dapat dilepaskan sepenuhnya dari kebijakan sektor pertanian yang pengelolaan dan kesiapan penyesuaiannya tidak dengan mudah melepaskan persoalan-persoalan klasik.
Banyak analisa sosial yang dibutuhkan untuk pembangunan ekonomi memberi kesan bahwa masyarakat industrialisasi dengan cepat haruslah mendobrak ikatan-ikatan tradisionalnya, membutuhkan tingkat yang benar-benar fleksibel di dalam hubungan-hubungan peranan, keinginan-keinginan untuk memperlakukan kekuatan pasar (market force), dan kebebasan individu, serta sistim rekrut bagi posisi penting yang secara luas didasarkan pada kreteria prestasi dan bersifat umum. Pendeknya melihat kepada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ini dalam masyarakat yang berbeda terdapat kesan adanya beberapa kelengkapan-kelengkapan ekstra dalam cara dimana pendidikan benar-benar membantu pembangunan. (Khaeruddin, Peny. : 1984)
Industri manufaktur di Indonesia mengalami pertumbuhan yang relatif pesat terutama pada satu dasawarsa terakhir (1980-1990). Pertumbuhan sektor ini priode tahun 1970 –1980 rata-rata sebesar 14 % pertahun. Di masa mendatang produk manufaktur diproyeksikan masih merupakan komoditi andalan ekspor non migas. Untuk itu pemerintah dalam Repelita VI terus menggalakkan promosi investasi di sektor manufaktur baik melalui skema Portofolio maupun investasi langsung Pemasukan Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Pemasukan Modal Asing (PMA).
Dalam konteks di atas pemerintah harus melakukan penajaman prioritas industri manufaktur yang memiliki daya saing tinggi di pasar dunia. Perubahan dari orientasi komparatif kepada persaingan kompetitif diharapkan menjadi landasan kuat untuk memulai era industri yang tidak saja berbasis pada industri padat modal, tetapi juga memiliki kemampuan menyerap tenaga kerja produktif yang handal.
Dalam era globalisasi, prilaku bisnis dituntut untuk menyesuaikan strategi kompetitifnya dengan tidak lagi mengandalkan keunggulan komperatif tetapi strategi keunggulan kompetitif (convetitive advantange) menjdi prioritas targetnya.
Berdasarkan faktor intensitasnya, produk industri manufaktur dapat diklasifikasikan ke dalam :
1. Industri yang mengutamakan sumber daya alam (natural resource intensive)
2. Industri yang mengutamakan tenaga kerja murah (unskilled labour intensive)
3. Industri manufaktur padat modal (phisical capital intensive)
4. Industri manufaktur berteknologi tinggi. (INDEF: 1997)

Transformasi Struktural atau Marjinalisasi
Proses perkembangan ekonomi suatu negara telah sering diartikan atau difahami sebagai suatu proses transformasi struktural. Proses transformasi struktural ini adalah dalam bentuk terjadinya pergeseran dari sektor pertanian ke sektor industri dan kemudian ke sektor jasa-jasa. Dalam hal ini proses perkembangan ekonomi ditandai oleh perubahan dalam konstribusi sektoral terhadap output nasional sebagai akibat terjadinya pergeseran tenaga kerja nasional dari sektor pertanian ke sektor industri dan kemudian sektor jasa-jasa. Sektor jasa-jasa dianggap sebagai sektor tertinggi dalam perkembangan ekonomi.
Teori transformasi struktural dalam perkembangan ekonomi bukanlah jaminan atas keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia. Tetapi yang menjadi penekanan adalah bagaimana proses transformasi ini dapat berjalan dengan meminimalkan resiko sosial yang harus ditanggung. Pekerja sektor pertanian misalnya, sebagai sektor yang secara kultural dan struktural menjadi lahan pekerjaan yang paling banyak ditekuni masyarakat Indonesia, dipaksa membaca realitas sesungguhnya agar tidak salah dalam menentukan pilihan-pilihan hidup. Harus diakui pula bahwa kendala-kendala psikologis maupun teknis tetap menjadi bagian yang tidak terpisahkan ketika proses transformasi ini berlangsung.
Kelompok peneliti Berkeley mengemukakan argumentasi bahwa perkembangan ekonomi hendaknya dipahami dan diinterpretasikan bukan hanya dalam konteks pergeseran dari sektor pertanian ke sektor manufaktur dan kemudian ke sektor jasa. Tahap perkembangan ekonomi hendaknya dipahami dalam pengertian dinamika yang terjadi dalam kegiatan inti dan pendukung.
Dalam tahap transformasi di bidang industrialisasi, beberapa kegagalan ditemukan justru pada saat dilakukan pendekatan pembangunan yang mengutamakan industrialisasi subtitusi impor yang padat modal. Disamping itu terdapat juga sikap pesimisme mengenai keberhasilan program industrialisasi promosi ekspor dalam memecahkan persoalan pembangunan di Indonesia.
Pertumbuhan industri manufaktur di Indonesia khususnya, mengalami peningkatan pesat pada tahun 1970 an, hampir setinggi Korea. Tetapi pertumbuhan tersebut berangkat dari dasar yang sangat kecil, dan dibandingkan dengan GDP maupun sektor pertanian. (Mohamed Arief & Hal Hill : 1988 )
Ada dua strategi yang dikembangkan dalam memacu pesatnya pertumbuhan ekonomi. Pertama strategi subtitusi impor, dengan harapan, sektor industri manufaktur dapat bertumbuh dengan lebih pesat dan penggunaan devisa dapat dihemat. Kedua, strategi promosi ekspor, yang diduga lebih menjanjikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dibandingkan strategi subtitusi impor. Ada 4 alasan yang dikemukakan oleh Wakil Presiden Bank Dunia untuk menjelaskan hal ini: (1) Kaitan sektror pertanian dan industri (2) skala ekonomi (3) dampak persaingan atas prestasi perusahaan (4) dampak kekurangan devisa atas pertumbuhan ekonomi. (Thee Kian Wie : 1988)
Pilihan-pilihan strategis dalam penentuan arah pembangunan ekonomi pada akhirnya akan merujuk kepada kesiapan berbagai faktor pendukung dalam proses transformasi struktural dari pertanian ke industri, maupun pada pemilihan sektor jasa sebagai arah kebijakan pembangunan ekonomi. Dalam konteks Indonesia, pilihan-pilihan struktur pembangunan ekonomi yang dikemukakan berbagai ahli ekonomi maupun pengalaman pembangunan yang telah dialami sejak awal kemerdekaan sedikit banyak membantu memberi referensi yang sangat berarti. Setidaknya sektor pertanian terpacu secara berkesinambungan seiring pengembangan sektor industri yang tengah dipacu pertumbuhannya.
Untuk mencapai pertumbuhan yang berkesinambungan, yang merupakan inti tujuan utama pembangunan ekonomi, diperlukan transformasi dan perubahan struktur ekonomi yang pada gilirannya sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam melakukan industrialisasi. Pembangunan ekonomi selama orde baru telah mengubah struktur ekonomi sesuai dengan pola-pola umum yang terjadi di negara berkembang seperti semakin kecilnya peran sektor pertanian, meningkatnya sumbangan sektor manufaktur terutama dalam produk domistik bruto (PDB). Disektor manufaktur juga telah terjadi perubahan struktur yang cukup mendasar, baik dalam komposisi produk-produk utama, keragaman barang-barang yang diproduksi maupun kandungan teknologinya. (Mari Pangestu Dkk, Peny. : 1996)
Meski strategi pembangunan yang diterapkan di berbagai negara berkembang termasuk Indonesia tengah mengalami perubahan struktur yang cukup mendasar, tetapi haruslah dipahami juga bahwa perubahan struktural tersebut tidak semata-mata dapat dilihat dengan pendekatan ekonomi makro. Ide-ide pembangunan yang turut berubah sebagaimana ditunjukkan oleh perubahan dramatis kebijakan ekonomi pemerintah negara-negara berkembang di penghujung 1970-an dan awal 80-an juga punya andil yang tidak sedikit. Kebijakan ekonomi domestik maupun internasional pemerintah negara-negara berkembang ditransformasikan melalui introduksi dan adopsi semacam reformasi liberalisasi ekonomi yang diniatkan untuk menata kembali peran dan keterlibatan negara dalam ekonomi.(Antonio Gramsci : 1999).
Kebutuhan akan dukungan infra struktur seperti keterampilan teknis dan pendidikan dalam kesuksesan pengembangan industri manufaktur juga tidak dapat diabaikan. Karena proses perubahan dari satu struktur kebentuk lainnya merupakan hal yang senantiasa bersifat dinamis dan cenderung merespon perkembangan-perkembangan mutakhir. (Alan B. Mountjoy : 1975).
Salah satu prinsip dasar untuk transformasi teknologi dan industri dalam rangka pembangunan bangsa adalah bahwa teknologi hanya dapat dialihkan, diterapkan dan dikembangkan lebih lanjut jika mereka benar-benar diterapkan pada pemecahan problem-problem yang kongkret Pada dirinya, karena sifatnya, teknologi-teknologi tidak dapat dimengerti apalagi dikembangkan secara abstrak.
Untuk mengembangkan teknologi padi misalnya, memang sangat penting dipelajari pertanian padi dan teknologi-teknologi produksi padi yang telah dikembangkan di seluruh dunia. Tetapi yang paling penting adalah usaha meningkatkan produksi padi dalam pelbagai kondisi lahan, kondisi cuaca, kondisi ekonomi dan di dalam lingkungan masyarakat dan kebudayaan tertentu.(B.J. Habibie : 1983).


Beragamnya konsep pembangunan ekonomi yang ditawarkan menjadikan pilihan-pilihan yang ada tidak gampang untuk diputuskan. Adalah sangat arif dan bijaksana jika pada akhirnya pilihan yang diperoleh merupakan pilihan pembangunan ekonomi yang strategis untuk kondisi negara dan bangsa tanpa memaksakan kesamaan dengan negara-negara maju. Karena pada akhirnya tingkat kesejahteraan rakyat jugala yang akan menjadi indikator paling kuat dalam menilai pilihan yang paling strategis.
Transformasi struktural yang digambarkan pada peralihan sektor pertania ke industri, dan selanjutnya pada bidang jasa, nampaknya memperoleh kaunter yang cukup serius. Sebab apa yang selama ini dilihat sebagai transformasi struktural dinilai sebagai sebuah kamuplase. Peralihan dari sektor pertanian ke industri tak lebih dari adopsi teknologi yang berakibat serius terhadap penguasaan pasar negara industri terhadap negara agraris.
Barang-barang industri telah memasuki negara agraris tanpa diperlengkapi dengan transper nilai, budaya, dan filosofi teknologi itu sendiri. Akibatnya, ketergantungan struktural terjadi secara sistimatis. Inilah kemudian yang dinilai sebagai proses marjinalisasi negara-negara industri terhadap negara dunia ketiga.
Antara transformasi struktural dan proses marjinalisasi memang menjadi dua bagian yang berbeda. Sebagai arah perubahan konsep pembangunan ekonomi makro, transformasi harus terjadi sebagai bentuk respon positif terhadap laju pertumbuhan. Tetapi implikasi negatif atau sesuatu lalu bersifat disfungsional juga harus diterima sebagai kenyataan. Setuju atau tidak, tampaknya keduanya akan berjalan terus.
Dua kenyataan yang berbeda di atas membuka kesempatan luas bagi kita untuk meletakkan kerangka analisis yang tajam tentunya. Apakah transformasi struktural yang terjadi pada dunia ketiga menjadi bagian dari konspirasi besar dari upaya penguasaan pasar yang dilakukan sebagai bagian dari rencana besar negara industri melakukan ekspansi pasar ? atau justru negara-negara berkembang pada kenyataannya memang tidak memiliki alasan yang cukup untuk melakukan resistensi berarti terhadap negara industri.
Pada tataran ini, reaksi terhadap gagasan teori keunggulan komparatif menjadi lebih keras. Keunggulan komparatif tidak berjalan sebagaimana desain dasarnya. Dominasi kelas atas kelas lain yang tercipta, dan pada akhirnya negara-negara berkembang terpinggirkan disaat negara-negara industri menikmati panen besar.

DAFTAR PUSTAKA
Arief, Sritua. 1997. Pembangunanisme dan Ekonomi Indonesia, Pemberdayaan Rakyat Dalam Arus Globalisasi. Zaman Wacana Mulia : Jakarta.
Arieff, Muhamed & Hal Hill. 1988. Industrialisasi di Asian. LP3ES, Jakarta.
Alan B. Mountjoy. 1975. Industialization and Developing Countries. The Anchor Press Ltd, Great Britain.
B.J. Habibie. 1983. Beberapa Pemikiran Tentang Strategi Transformasi Industri Suatu Negara Berkembang, Pidato disampaikan pada Sidang Deutsche Gesellschaft fur Luft-und Raumfahrt Bonn, Republik Federasi Jerman 14 Juni 1983.
Budiman, Arief. 1996. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Khaeruddin, Peny. 1984. Struktur Sosial dan Mobilitas dalam Pembangunan Ekonomi. Nurcahaya, Yogyakarta.
Sugiono, Muhadi. 1999. Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Syahrir, Peny. 1997. Analisis dan Metodologi Ekonomi Indonesia. Gramedia, Jakarta.
Pangestu, Mari dkk, Peny. 1996. Transformasi Industri Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas. CSIS, Jakarta.
Thee Kian Wie. 1988. Industrialisasi Indonesia: Analisis dan Catatan Kritis. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

03 Februari 2008

INTISARI PENELITIAN RESOLUSI KONFLIK LOKAL

Penelitian ini difokuskan pada upaya untuk memperoleh wawasan tentang bagaimana praktek-praktek tradisional dapat menawarkan jalan alternatif untuk mengakhiri konflik. Teori etnokonflik yang beragam secara kultural berasal dari pandangan tentang konflik yang berlandaskan akal sehat dan dikonstruksikan secara lokal, sedangkan etnopraxis adalah kebiasaan atau teknik untuk berhubungan dengan konflik yang berasal dari pandangan etnokonflik dan perlu dikembangkan serta dipadukan ke dalam konstruksi dari pendekatan penyelesaian konflik umum. Dari pandangan ini kemudian diletakkan setawar sedingin, dan biografi konflik nelayan sebagai obyek studi.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan bersifat analisis deskriptif kualitatif. Pada tahap awal digunakan model analisis dan pemetaan konflik dari Kent, dengan melihat setting, isu, kelompok-kelompok yang bertikai, dinamika dan alternatif penyelesaian konflik. Melalui pendekatan ini diperoleh kesimpulan bahwa; pertama, konflik nelayan terjadi karena ketidakseimbangan faktor pendorong dan penekan situasi konflik seperti perubahan-perubahan penting dalam komposisi penduduk berdasarkan etnis, perkembangan sosial ekonomi, perubahan politik, lemahnya penegakan supermasi hukum, dan modernisasi budaya. Isu yang paling dominan adalah trawl dan kesenjangan ekonomi, sedangkan yang paling potensial mempercepat konflik terbuka adalah isu etnisitas.
Kedua, konflik nelayan di Kota Bengkulu dengan menggunakan terminologi nelayan maju dan nelayan tradisional, ternyata aktornya adalah sesama nelayan maju tetapi berbeda kelompok. Kenyataan ini didasarkan pada logika isu yang dikembangkan untuk membentuk kelompok-kelompok konfliktual. Ketiga, perbedaan artikulasi kepentingan telah menciptakan hubungan konfliktual segitiga antara nelayan tradisional, nelayan maju, dan pemerintah. Dari hubungan-hubungan yang terbentuk ini, diketahui bahwa, konflik laten dapat bertahan dalam waktu lama karena pilihan resolusi konflik elit pemerintahan lokal gagal mengeliminasi konflik, tetapi berhasil mentransformasi konflik manifest menjadi laten.
Keempat, penyebab kegagalan penyelesaian konflik sebelum digunakannya setawar sedingin adalah lemahnya dukungan dan legitimasi kelembagaan pihak ketiga yang memprakarsai konsiliasi, rekonsiliasi, ataupun mediasi antar fihak-fihak yang berkonflik. Selain itu, tingkat partisipasi dan konsistensi fihak-fihak yang berkonflik untuk melaksanakan konsensus yang telah dicapai sangat rendah sebagai dampak dari lemahnya institusi konsiliasi yang digunakan.
Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa, setawar sedingin adalah model resolusi konflik yang memiliki mekanisme kerja hampir sama dengan konsiliasi yang umum dikenal dalam literatur konflik. Perbedaannya, Ia banyak menggunakan simbol-simbol lokal, dan memiliki tingkat kepercayaan publik yang kuat dan luas akibat ikatan emosi kultural. Peran setawar sedingin pada konteks konflik ini adalah usaha untuk mengatasi kontradiksi struktural, relasional dan kultural yang terletak pada akar konflik, sehingga ketidakharmonisan lintas budaya seperti peran interpretasi, motivasi dan prilaku yang berbeda yang dibentuk secara kultural justru dapat secara signifikan memperkuatnya setelah dibuat penyesuaian yang cocok, agar dapat menopang proses menciptakan dan menjaga perdamaian.
Kata kunci: Setawar sedingin, resolusi konflik, etnisitas,

02 Februari 2008

BOOM MINYAK, 1974-1982: PENGARUH STRUKTURAL DAN KETIDAKACUHAN NEGARA

Sekalipun kebijakan-kebijakan selama tahap pertama Orde Baru Suharto agak bersifat campuran, dalam keseimbangannya adalah tepat untuk menggambarkan iklim investasi sebagai sangat responsive terhadap para pengendali modal dan khususnya terhadap yang lebih dapat berpindah-pindah. Para pembuat kebijakan menyadari adanya tekanan untuk bersaing dengan tempat-tempat investasi alternatif, dan rencana kebijakan untuk Indonesia mencerminkan tekanan kompetisi ini. Sekalipun para menteri ekonomi telah mencapai kemenangan yang jelas pada awal tahun 1973 atas Ibnu Sutowo dan kelompok-kelompok politis klientelis yang diwakili dan dilayaninya, dan sekalipun terjadi apa yang disebut “pelajaran” dari sikap tak acuh Sukarno dan bahkan permusuhan terbuka terhadap para pengendali modal, segera mulai terjadi pergeseran mendasar dari arah kebijakan Indonesia sesudah kenaikan harga minyak pada akhir tahun 1973. Pergeseran inimsekaligus menandai tahap kedua Orde Baru Suharto tampak jelas telah dimulai.
Faktor yang paling penting yang berperan atas pergeseran kebijakan ini adalah perubahan dramatis dalam pola pengendalian sumberdaya yang dihadapi dan dikerjakan dari dalam oleh para pembuat kebijakan di Indonesia. Karena sector minyak dan gas dimiliki oleh Indonesia dan keuntungan penjualan itu mengumpul dalam perbendaharaan negara, boom minyak menempatkan sumber daya yang besardan amat luwes itu secara langsung di tangan para pembuat kebijakan Indonesia.
Ketika intensitas dan kedaya gunaan pengaruh structural para mobile investor menurun dan peluang untuk melaksanakan bentuk politik patronase yang lebih kuat meluas, maka peluang-peluang pun meluas pula untuk para pengendali mobile capital yang juga memiliki posisi baik dalam struktur patro klien Indonesia untuk membuat para pembuat kebijakan bersikap responsive terhadap tuntutan dan kepentingan mereka. Karena alas an inilah, maka kelompok inti para investor pribumi mendadak sontak memperoleh kekayaan, kedudukan yang meningkat, dan bahkan status mobilitas yang meningkat selama tahun-tahun terakhir boom minyak.

Menilai Dampak Boom Minyak: Pandangan Makro

Sekalipun kurun waktu sembilan tahun yang dimulai pada akhir 1973 merupakan suatu tahapan yang jelas dalam ekonomi politik Indonesia berkat kenaikan yang luar biasa besarnya dalam akses negara secara langsung pada sumberdaya yang kiranya dapat diguanakan untuk memenuhi kebutuhan investasi masyarakat, boom minyak itu sama sekali tidak seragam.
Suatu pertanyaan yang jelas muncul adalah ke tangan lembaga mana, atau bahkan ke tangan pribadi siapa, hasil minyak itu mengalir, dan untuk tujuan apa sumberdaya ini diarahkan. Mulai dengan pandangan makro, adalah jelas bahw boom minyak mempunyai dampak yang besar sekali pada pendapatan pemerintah secara keseluruhan dan, yang lebih penting lagi, pada sumbangan relatif yang diberikan oleh sumber-sumber yang berbeda. Basis sumberdaya negara Orde baru selalu berupa sebuah pundi-pundi campuran: sebagian dari pajak perusahaan dan pajak pendapatan, sebagian dari keuntungan perusahaan negara, sebagian lagi dari kredit dan hibah luar negeri.
Unsur yang paling mengejutkan dari basis sumber daya negara Indonesia adalah sumbangan terhadap pendapatan negara yang berubah cepat dari sector minyak. Pendapatan yang berkaitan dengan minyak tahun 1966 berperan atas sebagian kecil saja dari seluruh pendapatan. Angka ini meningkat dengan pasti menjadi kira-kira sepertiga dari pendapatan dalam tahun fiskal 1973-1974. Sesudah itu naik pesat menjadi separoh dari semua penerimaan pemerintah dalam tahun 1974-1975. Lalu memuncak pada tahun 1981-1982 sebesar 62 persen. Keadaan ini menunjukkan bahwa penurunan setelah boom minyak mula-mula berlangsung perlahan-lahan dan kemudian menukik tajam pada tahun 1985-1986. Pada tahun 1990 sumbangan terhadap pendapatan negara dari sector minyak diperkirakan hanya sedikit di atas 20 persen kurang lebih setara dengan sumbangannya pada tahu 1970. Sumbangan rata-rata waktu sebelum, selama dan sesudah boom masing-masing adalah 30 persen, 55 persen, dan 43 persen.
Untuk memperoleh pengertian dana mana yang mengalir ke dalam perbendaharaan negara mempunyai sedikit ikatan perysaratan eksternal yang paling sedikit, adalah perlu untuk melihat pada data pendapatan Indonesia secara lebih terperinci. Anggaran rutin di sisi pendapatan, terdiri dari penerimaan pajak (termasuk pajak atas pertamina) dan tarif dan, pada sisi pengeluaran, terdiri dari jatah beras dan gaji pokok pegawai negeri dan militer. Uang yang dikeluarkan untuk pembangunan berasal dari dua sumber utama: hibah atau kredit luar negeri dan surplus yang tersisa setelah pengeluaran rutin dikurangkan dari pendapatan rutin.
Ada factor kontekstual atau lingkungan yang berfungsi untuk meningkatkan dan mencairkan dampak boom minyak. Dengan memusatkan perhatian pada momentum gelombang kenaikan akhir 1973, kita melihat bahwa peluang untuk melepaskan diri dari kebijakan-kebijakan delapan tahun sebelumnya bahkan lebih berumur pendek dari pada
Oleh pola penurunan bertahap. Alasannya adalah bahwa sumberdaya rejeki nomplok yang membanjir masuk harus digunakan hampir seketika untuk mengendalikan kerusakan yang timbul akibat dua malapetaka menyelip di antara boom minyak itu sendiri. Pertama adalah kekeringan berat yang menyebabkan gagalnya panen padi pada tahun 1971 dan 1973. Krisis kedua adalah kebangkrutan Pertamina.


Tanggapan Mobile Capital dan Peran-peran Tim Sepuluh
Para konsultan yang disewa para menteri ekonomi memberikan perhatian yang paling besar kepada empat factor yang dianggap paling berperan atas prilaku para investor. Kempat-empatnya berkenaan dengan usaha para pejabat untuk mengenakan pengendalian yang lebih besar terhadap proses investasi. Pertama adalah perangkat kebijakan yang menurut pemerintah dirancang untuk memajukan para pengusaha pribumi. Konsultan menteri mengarahkan kebijakan seperti di Hong Kong, dimana pemerintah tidak membedakan antara perusahan local dan luar negeri. Memberi petunjuk dengan kuat bahwa para pembuat kebijakan Indonesia sangat keliru untuk mencoba memimpin dan bukan mengikuti sector swasta.
Faktor kedua berkenaan dengan persoalan tidak bisa diperhitungkannya system di Indonesia, dimana kebijakan-kebijakan hampir berulang dalam waktu semalam saja dan rumusan tertentu dari suatu peraturan jauh kurang penting disbanding dengan penafsiran dari pejabat yang kebetulan duduk di belakang meja.
Faktor ketiga, yang sekali lagi menempatkan Indonesia dalam suatu pandangan komparatif, berkaitan dengan lembaga pemerintah terpenting yang menangani investasi. Di Indonesia , penekanan BPKM bukanlah untuk melancarkan jalan para investor melainkan untuk mengkoordinasi kepentingan berbagai departemen pemerintah. Berdasarkan rekomendasi para analis inilah BKPM dirombak pada akhir 1977 dan dijadikan pelayanan satu pintu. Tampaknya perbaikan yang terjadi adalah kecil.
Faktor kekmpat menerima perhatian cukup besar dan terutama relevan bagi argumen yang lebih luas dalam buku ini. Kembali ke kebijakan baru Indonesia yang mengambil dan memilih di antara para investor yang secara nyata atas dasar kebangsaaan dan kesukuaan. Para analis mengajukan argumentasi kuat bahwa Indonesia mengakui kenyataan mengenai mobilitas kaum investor: “Kebijakan yang berorientasi sosial semacam itu mungkin secara keseluruhan bisa dikagumi, tetapi kebanyakan investor asing, khususnya yang terlibat dalam usaha mufaktur yang berlawanan dengan industri ekstraktif, dapat membuat pilihan yang cukup canggih antara Indonesia dan negara-negara tetangga lainnya sebagai tempat bagi investasi baru mereka.
Proses penentuan dan perubahan kebijakan ekonomi terus berjalan meski berkali-kali mendapat sorotan dari berbagai lembaga ekonomi regional maupun internasional. Kebijakan yang dirancang seperti halnya beberapa undang-undang serupa sebelumnya, terutama ditujukan untuk membujuk para investor pribumi kecil dan menegah yang terkena dampak paling buruk oleh devaluasi bulan Novomber 1978. Dalam waktu satu tahun Tim Sepuluh telah lahir. Mungkin tim ini merupakan badan pemerintah non militer yang paling kuat dan paling jahat yang ada di Indonesia sejak masa kejayaan Ibnu Sutowo di Pertamina.
Dengan adanya reputasi Tim Sepuluh sebagai tempat pengendalian pemerintah yang berjangkauan jauh dan suatu kantong bagi uang suap kepada para pejabat dan kontrak bagi setiap orang dari para pendukung rezim Suharto terhadap anak-anak Presiden.
Besarnya sumberdaya yang diputuskan melalui proses pengesahan Tim Sepuluh sengat mengejutkan. Menurut laporan akhir tim, selama delapan tahun beroperasi tim itu telah memberikan kontrak senilai Rp 52 trilyun untuk pengadaan pemerintah.
Dengan menempatkan besarnya jumlah itu dalam suatu perspektif, harap diingat bahwa seluruh surplus pemerintah berdasar kebijakansanaan untuk pengeluaran pembangunan dari tahun 1980 sampai 1988 hanya berjumlah Rp 43 trilyun. Bahkan kalau 3 trilyun lagi dimasukkan berupa bantuan “program”, dimana terdapat kebijaksanaan pemerintah yang cukup besar, jumlah dana yang tidak dialokasikan unuk kurun waktu itu hanya berjumlah Rp 46 trilyun. Dengan kata lain Tim sepuluh mengendalikan semua dana kebijaksanaan domestik selama beroperasi dan di luar kebijaksanaan itu masih ada 6 trilyuan lagi (kemungkinan besar adalah uang yang dikendalikan oleh negara-negara kriditor untuk proyek-proyek yang mereka biayai)
Orang-orang yang menyusun laporan akhir Tim Sepuluh keluar dari kebiasaannya untuk mengecilkan aspek klientelis dari operasi mereka. Dengan melihat begitu saja pada teks laporan maupun berbagai pernyataan selama tahun-tahun itu oleh Sudharmono dan Ginanjar. Pesan yang ingin disampaikan oleh para pejabat ini adalah bahwa mereka menaruh perhatian pada ditutupnya kebocoran-kebocoran dalam prosedur pengadaan pemerintah dan, seperti yang selalu terjadi, dengan memberi dorongan kepada para produsen dan pemasok barang dan jasa pribumi yang diberi oleh pemerintah.
Laporan akhir Tim Sepuluh memperlihatkan bahwa uang yang disimpan dengan memotong pemborosan pemerintah menjadi hanya 4 persen dari semua kontrak yang diberikan, suatu angka yang mungkin ditimbulkan oleh dalam anggaran saja untuk mempertahankan agar semua tangan-tangan Tim Sepuluh yang banyak jumlahnya itu terus bergerak selama delapan tahun. Seorang pejabat tinggi pada Departemen keuangan menyebutkan bahwa pada mulanya Tim Sepuluh menyelesaikan beberapa hal secara baik untuk pemerintah, tetapi kemudian SEKNEG mengambil alih. Ia memperparah keadaan, bahkan mesin tulis pun dibeli secara terpusat. Sudarmono menggunakan operasi ini untuk mengadakan kontrak bagi anak-anak presiden. Ia sangat kotor. Dengan mencobah menjaukan kaum ekonom dari Tim Sepuluh dan permainan patronase itu, setiap orang berhubungan dengannya, tambah pejabat itu. Melakukan ini adalah gagasan Sudharmono sendiri, bukan gagasanWidjoyo.
Apa yang dilakukan oleh Tim Sepuluh pada dasarnya adalah menarik kekuatan patronase ke atas dan ke pusat, serta menaikkan ke tingkat kebijakan nasional formal suatu polah pengelolaan mikro yang ketat atas peluang dan keberhasilan di seluruh nusantara yang sebelumnya tidak ada.
Sekalipun perubahan-perubahan mendasar dalam akses negara kepada sumberdaya membantu memperhitungkan perubahan-perubahan dalam intensitas dan kedayagunaan kekuatan pengaruh structural para investor, khususnya kemampuan untuk menimbulkann biaya politik yang dipahami oleh para pembuat kebijakan sebagai tidak mengikuti kebijakan yang kompetitif dan berorientasikan pasar. Kebijakan-kebijakan ini sama sakali tidak menentukan arah kebijakan berikutnya.
Dikatan secara lain, suatu pertimbangan mengenai kekuatan structural capital controller adalah paling bermanfaat dalam memperkirakan watak atau arah kebijakan suatu negara apabilah dampak dari kekuatan structural itu tinggi. Apabila daya pengaruh structural para investor itu diblokir secara efektif, seperti selama boom minyak di Indonesia, orang dapat memperhitungkan arah kebijakan hanya dengan melihat p[ada factor-faktor kontekstual yang sangat berbeda-beda dari yuridiski satu ke yuridiski lain.

Di Indonesia terdapat suatu ketegangan mendasar di dalam barisan para pengendali modal antara pelaku pendukung pasar dan pelaku yang kepentingannya justru terletak dalam hubungan patro-klien di negara itu atas peranan yang seharusnya di lakukan oleh alokasi pasar dari peluang investasi.

RASIONALISASI GLOBAL DAN TAKLUKNYA DUNIA KETIGA




Pendahuluan
Weber pernah menghubungkan antara rasionalisasi dan konsep kehidupan dunia modern, (Etzkowitz,1991 :125) sedangkan Marx dan Engels menghubungkan masa depan negara-negara yang terbelakang dengan melihat negara-negara yang sudah maju atau modern. Ini berarti bahwa seperti halnya teori modernisasi Marx dan Engels mengikuti juga pandangan perkembangan uniliner dari proses pembangunan negara-negara di dunia ini. Negara-negara yang terbelakang diramalkan akan menjadi seperti negara-negara maju sekarang.
Marx dan Engels menjelaskannya sebagai berikut, melalui kemajuan teknologi dalam segala bidang, maka teknik produksi termasuk teknologi komunikasi akan menjadi semakin canggih dan murah, sehingga hubungan antara negara-negara maju dengan dunia ketiga tidak dapat dihindari. Dunia ketiga tidak mampu menolak porduksi teknologi dunia maju sebagai akibat keterbatasannya dalam pengembangan teknologi. Semua negara akan memakai cara produksi kaum borjuis. Kalau tidak, mereka akan hancur. Dengan perkataan lain kaum borjuis menciptakan dunia ini sesuai dengan apa yang dibayangkan.(Blomstrom & Hettne, 1984:28)
Apa yang terungkap dalam penjelasan teoritis Marx tentang hubungan negara maju dan dunia ketiga adalah pengakuan akan adanya paradoks antara kelompok tertentu dengan kelompok lainnya sebagai representasi negara maju dan Dunia Ketiga. Pendeknya bagi Marx, dunia di luar benua Eropa dan Amerika adalah dunia yang kuno dan statis, ketinggalan jaman, tak ada dinamika apa-apa. Ini dituangkan dalam konsep yang dikenal dengan nama cara produksi Asia. Model masyarakat industrial Barat pada saat itu, sepertinya menjadi “citra masa depan (image of the future) bagi pembangunan di Dunia Ketiga.(Moeljarto, 1995:xi)


Mengapa bangsa-bangsa Eropa atau bangsa-bangsa maju lainnya melakukan ekspansi keluar dan menguasai bangsa-bangsa lainnya, baik secara politis maupun ekonomis. Apa yang menjadi dorongan utamanya. Ada tiga kelompok teori yang memberikan jawaban atas pertanyaan ini, yakni: pertama, teori yang menekankan idealisme manusia dan keinginannya untuk menyebarkan ajaran Tuhan atau untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Kedua, teori yang menekankan kehausan manusia terhadap kekuasaan, untuk kebesaran pribadi maupun kebesaran masyarakat dan negaranya, dan yang ketiga, teori yang menekankan pada keserakahan manusia yang selalu berusaha mencari tambahan kekayaan, yang dikuasai oleh kepentingan ekonomi.(Winks, 1963:3)
Dari teori perdebatan awal teori-teori pembangunan akhirnya muncul gagasan-gagasan yang menjadi bagian dasar dari teori-teori ketergantungan. Teori ketergantungan lahir dari dua induk. Induk pertama adalah seorang ahli ekonomi liberal: Raul Prebisch. Induk yang kedua adalah teori-teori Marxis tentang imprealisme dan kolonialisme, serta seorang pemikir Marxis yang merevisi pandangan Marxis tentang cara produksi Asia, yakni Paul Baran. Teori-teori ketergantungan yang digunakan khususnya dalam melihat kondisi pembangunan di dunia ketiga, sangat banyak mempengaruhi pikiran-pikiran yang berkaitan dengan keterbelakangan dan kemisikinan di dunia ketiga.
Tesis Marx yang mengatakan bahwa negara-negara kapitalis maju akan menularkan sistem kapitalisnya ke negara-negara berkembang sehingga mengakibatkan kemajuan pula bagi negara berkembang, dibantah oleh Baran. Baran menunjukkan bahwa negara-negara pinggiran yang disentuh oleh negara-negara maju tidak mengalami kemajuan. Negara-negara terbelakang dikuasai oleh kepentingan modal asing dan agen-agennya di negara tersebut dan oleh kepentingan kaum pedagang dan tuan tanah.(Brewer, 1980: 157)
Dalam kaitannya dengan rasionalisasi global, takluknya negara dunia ketiga dari negara Barat tidak dapat dipisahkan dari bagian sistematis perkembangan dunia secara global. Pergeseran budaya sebagai akibat perkembangan pesat teknologi komunikasi mendorong perubahan-perubahan pandangan ekonomi di berbagai negara-negara maju, dan berdampak secara langsung pada negara-negara di dunia ketiga.
Kemajuan ekonomi yang pesat tidak mungkin terjadi tanpa adanya penyesuaian-penyesuaian yang menyakitkan. Filosofi-filosofi lama telah bergeser, lembaga-lembaga sosial lama telah hancur, ikatan-ikatan kasta, kepercayaan dan ras harus dilepaskan, dan sejumlah besar orang yang tidak bisa mengikuti perkembangan akan mengalami frustasi karena harapan mereka untuk mendapatkan hidup yang nyaman tidak tercapai. Hanya sedikit orang yang bersedia membayar harga penuh demi kemajuan ekonomi.
Dua tema pokok yang menjadi prolog dalam tulisan ini digunakan untuk memproblematisasi dampak rasioanalisasi global dan takluknya dunia ketiga oleh negara-negara maju. Relevansi atas rasionalisasi global dan takluknya dunia ketiga terfokus pada perdebatan teori-teori pembangunan ekonomi negara-negara maju dan dunia ketiga yang mengalami ketimpangan. Pada bagian awal akan diproblematisasi keterbelakangan dan kemiskinan dunia ketiga, sedangkan bagian kedua, difokuskan pada relevansi rasionalisasi global terhadap takluknya dunia ketiga.

Teori Pembangunan Dunia Ketiga
Di tengah perdebatan teori-teori pembangunan, keterbelakangan dan kemiskinan dunia ketiga, muncul berbagai spekulasi terhadap gagalnya teori keunggulan komparatif mengimplementasikan konsepnya sampai pada tataran praxis. Ide dasar yang dikembangkan adalah keuntungan dan kesejahteraan yang diperoleh bersama antara negara industri dan negara agraris sebagai konsekuensi logis dari pembagian kerja secara internasional.
Bahkan ada kecenderungan yang kuat untuk menilai teori keunggulan komparatif sebagai bentuk eksploitasi dan penindasan terselubung negara industri terhadap negara agraris, setelah gagal mencapai harapan teori yang ideal. Ini terbukti setelah negara industri semakin meraup keuntungan yang besar sementara negara agraris mengalami kemiskinan hebat.
Adalah Raul Prebich, seorang ahli ekonomi leberal, sekretaris eksekutif sebuah lembaga PBB yang didirikan pada tahun 1948 di Santiago De Chile tertarik untuk menelusuri kegagalan teori keunggulan komparatif ini. Perhatian Prebich terkonsentrasi kepada persoalan mengapa negara-negara yang melakukan spesialisasi di bidang industri menjadi negara-negara kaya, sedang mereka yang memilih bidang pertanian tetap saja miskin.
Menurut Prebrich, adanya teori Pembagian Kerja secara Internasional yang yang didasarkan kepada teori keunggulan komperatif membuat negara-negara di dunia melakukan spesialisasi produksinya. Oleh karena itu negara di dunia terbagi menjadi dua kelompok; negara-negara pusat yang menghasilkan barang industri, dan negara pinggiran yang menghasilkan barang-barang pertanian. Keduanya saling melakukan perdagangan. Dan menurut teori di atas seharusnya keduanya saling menguntungkan dan sama-sama kaya, tetapi kenyataan menunjukkan hal yang sebaliknya.
Prebrich menunjuk pada penurunan nilai tukar dari komoditi pertanian terhadap komoditi barang-barang industri. Barang-barang industri menjadi semakin mahal dibandingkan dengan barang-barang hasil pertanian. Akibatnya terjadi defisit pada neraca perdangangan negara-negara pertanian bila mereka berdagang dengan negara-negara industri. Dan defisit ini makin lama makin dirasakan menjadi beban yang besar.
Gejala ini dapat dijelaskan pertama, karena permintaan untuk barang-barang pertanian tidak elastis. Di sini berlaku apa yang disebut sebagai “Hukum Engels”, yang menyatakan bahwa pendapatan yang meningkat menyebabkan prosentasi konsumsi makanan terhadap pendapatan justru menurun. Artinya pendapatan yang naik tidak menaikkan konsumsi untuk makanan, tetapi justru menaikkan konsumsi barang-barang industri. Akibatnya, anggaran negara pertanian yang digunakan untuk mengimpor barang-barang industri dari negara-negara pusat akan semakin meningkat, sedangkan pendapatan dari hasil ekspornya relatif tetap.
Kedua, negara-negara industri sering melakukan proteksi terhadap hasil pertanian mereka sendiri sehingga sulit bagi negara pertanian untuk mengekspor ke sana. Inilah yang memperkecil jumlah ekspor negara pinggiran ke negara pusat. Ketiga, kebutuhan akan barang mentah dikurangi sebagai akibat dari adanya penemuan-penemuan teknologi baru yang dapat membuat bahan-bahan menjadi sintesis.
Jika negara pinggiran mengalami ketimpangan dari hasil pembagian kerja secara internasional, maka negara pusat yang memproduksi bahan-bahan industri justru memperoleh keberuntungan. Hal ini dapat terjadi karena pertama, kenaikan pendapatan mengakibatkan juga kenaikan pada konsumsi barang-barang industri. Karena itu kenaikan pendapatan di negara industri tidak banyak menaikkan impor barang-barang pertanian. Tetapi sebaliknya kenaikan pendapatan di negara pertanian menyebabkan meningkatnya impor barang-barang industridari negara-negara pusat.
Ketiga, kemakmuran yang meningkat, dan kekuatan stabilitas politik yang relatif membaik berdampak pada membaiknya posisi tawar menawar kaum buruh. Akibatnya, upah buruh juga terus meningkat. Dampaknya kemudian adalah upah buruh menjadi semakin tinggi. Seiring dengan meningkatnya upah buruh, harga jual barang industri pun menjadi semakin mahal. Kenaikan harga barang industri ini tidak diikuti oleh kenaikan permintaan dan harga barang-barang pertanian. Sehingga pada akhirnya kesenjangan pendapatan antara negara pertanian dan industri mengalami ketimpangan. (Arief Budiman : 1996)
Salah satu negara agraris dari dunia ketiga adalah Indonesia. Pada saat Indonesia mengikuti pembagian kerja ternyata bertahan lama pada kelompok negara spesial di bidang pertanian dan sangat lambat melakukan perubahan pembangunan ekonomi dari pertanian ke industri manufaktur. Artinya, Indonesia tidak termasuk diuntungkan dalam pembagian kerja internasioanl tersebut.
Kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia tetap terkonsentrasi pada prioritas pembangunan di sektor pertanian dan tidak menunjukkan adanya peningkatan di sektor industri secara signifikan. Meskipun sektor pertanian yang sehat dalam suatu negara miskin secara material dapat juga memberi sumbangan terhadap laju pertumbuhan yang lebih cepat dan merata bagi sektor perekonomian lainnya. (Syahrir: 1991)
Persoalan ini, meski tidak dilihat sebagai satu-satunya alasan, baik dilihat sebagai kajian lokal, regional maupun internasional menjadi faktor yang menentukan bergesernya orientasi pembangunan dari pertanian ke pembangunan industri, baik industri padat karya maupun industri padat modal, tetapi paling tidak dapat menunjukkan adanya pengaruh yang cukup signifikan antara dua kutub yang berlawanan.
Setidaknya tesis Tokman membantu kita untuk memperoleh gambaran dengan dukungan bukti-bukti empiris dari data di Indonesia yang menyebutkan angka-angka perbedaan produktivitas antar sektor dalam ekonomi Indonesia untuk priode 1971 – 1990 misalnya. Perbedaan produktivitas antar sektor dalam ekonomi Indonesia selama priode ini secara umum bersifat statis atau tidak meningkat. Rasio antara produktivitas sektor pertanian dengan produktivitas non pertanian praktis tidak berubah, yaitu sebesar 0,25 pada tahun 1971, sebesar 0,26 pada tahun1985 dan sebesar 0,24 pada tahun 1990. Kesenjangan antara sektor pertanian dan industri telah bertambah parah .
Contoh kasus Indonesia adalah sebagian kecil dari kasus-kasus yang dialami oleh negara-negara yang tergolong ke dalam dunia ketiga. Teori pembagian kerja secara internasional pada prakteknya tidak cukup kuat mengangkat kesejahteraan dunia ketiga. Bahkan justru dapat dimengerti bahwa penjelasan teori pembagian secara internasional tersebut telah melahirkan bentuk ketergantungan baru dunia ketiga oleh negara-negara maju.
Kegagalan teori komperatif menghasilkan kesejahteraan secara berimbang antara negara agraris dan industri menyebabkan munculnya kembali analisis-analisi baru, baik yang berkaitan langsung dengan kritik atas teori komperatif, maupun teori yang kelahirannya diilhami oleh resistensi atas dominasi negara maju terhadap dunia ketiga.
Salah satu kritik yang penting terhadap teori ketergantungan adalah tentang kemungkinan pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi di negara-negara pinggiran. Kritik ini sebenarnya diarahkan kepada Paul Baran dan Andre Gunder Frank yang menyatakan bahwa proses industrialisasi akan dihambat karena elite yang dominan di negara-negara pinggiran. Keberhasilan dari negara-negara industri baru seperti Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura memperkuat kritik terhadap teori ketergantungan ini.
Sebelum sampai pada proses-proses yang terjadi dalam kaitannya dengan penaklukan dunia ketiga oleh negara-negara maju, maka ada baiknya perdebatan yang timbul dari teori ketergantungan dan teori yang berkembang sebagai kritik dan polemik sesudahnya, diberi ruang analisis untuk mengantar ke persoalan pokok tulisan ini.
Teori pembangunan dari para ekonom liberal beranggapan bahwa keterbelakangan adalah akibat kekurangan modal. Kekurangan modal ini disebabkan oleh faktor-faktor tradisional yang ada pada masyarakat terbelakang itu, serta tingkat keahlian yang rendah. Terapi yang ditawarkan adalah bantuan modal serta usaha-usaha di bidang pendidikan untuk mengubah baik nilai-nilai tradisional yang tidak cocok untuk sebuah usaha pembangunan yang modern, maupun untuk meningkatkan kepakaran-kepakaran dalam bidang teknologi.
Teori ketergantungan pada dasarnya setuju dengan kekurangan modal dan ketiadaan keahlian sebagai penyebab ketergantungan. Tetapi faktor penyebabnya bukan dicari pada nilai-nilai tradisional bangsa itu, melainkan pada proses imprealisme dan neo imprealisme yang menyedot surplus modal yang terjadi di negara-negara pinggiran ke pusat. Proses imprealisme oleh Barat, dikaburkan dengan mengedepankan nilai-nilai tradisional sebagai penyebab utama keterbelakangan negara-negara Dunia Ketiga.
Perkembangan yang wajar dari negara-negara pinggiran, yang mestinya akan menuju pembangunan yang mandiri, terganggu akibat masuknya kekuatan ekonomi dan politik dari negara-negara pusat. Oleh karena itu penambahan modal dan keahlian disuntikkan begitu saja ke negara-negara pinggiran tidak akan menolong, sebelum struktur ekonomi dan struktur politik yang dibuat untuk memberi keuntungan pada modal borjuasi lokal ini diubah secara radikal.
Asumsi dan tesis yang lahir dari perdebatan teori ketergantungan sangat membantu analisi tentang keterbelakangan dunia ketiga. Tetapi perdebatan lain yang muncul adalah apakah ketergantungan sama dengan keterbelakangan. Perosalan ini tidak diperluas tetapi diperoleh titik temu bahwa, baik istilah ketergantungan maupun keterbelakangan merupakan dua istilah yang digunakan untuk menunjukkan takluknya dunia ketiga atas dominasi negara-negara maju.
Teori lain yang menjelaskan masalah ini sebagai reaksi terhadap teori ketergantungan adalah munculnya Wallesrtein dengan teori sistem dunia. Teori ini muncul karena teori ketergantungan dianggap tidak bisa menjelaskan gejala pembangunan di dunia ketiga, yang bisa dijelaskan hanyalah gejala terjadinya keterbelakangan.
Teori sistem dunia sebenarnya sangat sederhana. Dia beranggapan bahwa dulu dunia dikuasai oleh sistem kecil atau sistem mini dalam bentuk kerajaan atau bentuk pemerintahan lainnya. Pada waktu itu belum ada sistem dunia. Perkembangan teknologi dan perkembangan di bidang lain kemudian memunculkan sistem perekonomian dunia yang menyatu. Sistem perekonomian dunia menghubungkan kawasan-kawasan melalui pertukaran di pasar, sistem perekonomian inilah satu-satunya sistem yang ada, dan sistem dunia yang ada sekarang adalah kapitalisme global.
Kapitalisme global yang dilukiskan sebagai satu-satunya sistem yang ada tidak merata pengendaliannya akibat pasar bebas yang selalu mengikutinya. Perbedaan konsentrasi kendali modal antara satu negara dan negara lainnya melahirkan perbedaan pendapatan. Negara-negara yang mengendalikan perputaran modal umumnya menjadi negara-negara maju. Sedangkan negara-negara di mana tempat modal tersebut berputar tetapi tidak dikendalikan akhirnya menjadi negara-negara terbelakang atau sering diistilahkan Dunia Ketiga.

Rasionalisasi Global
Globalisasi bukan hanya atau bahkan terutama, untuk hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi, tetapi tentang transformasi waktu dan ruang dalam kehidupan kita. Revolusi komunikasi dan penyebaran teknologi informasi sangat erat kaitannya dengan proses-proses globalisasi. Ringkasnya, globalisasi adalah sebuah rentangan proses yang kompleks, yang digerakkan oleh berbagai pengaruh politis dan ekonomis. Globalisasi mengubah kehidupan sehari-hari, terutama di negara berkembang, dan pada saat yang sama ia menciptakan sistem-sistem dan kekuatan-kekuatan transisional baru. (Gidden,2000:38)
Diskursus mengenai pembangunan ekonomi dunia ketiga pun kini tengah memasuki ruang perdebatan global yang sengaja diciptakan dan dikontrol oleh negara-negara maju. Diskursus yang sarat dengan muatan politis dan ekonomis ini menjadi instrumen bagi negara-negara besar untuk menaklukkan negara-negara kecil. Gramsci mencatat bahwa proses pembuatan keputusan di negara-negara kecil sangat dipengaruhi, kalau tidak ditentukan, oleh negara-negara besar. Sementara negara-negara besar punya lebih banyak kebebasan dalam merumuskan berbagai kebijakannya, yang sejalan dengan kepentingan domestik dan hubungan sosial domestiknya, ruang gerak negara-negara kecil amatlah terbatas. (Gramsci, 1999:52)
Dalam kaitannya dengan ketertinggalan dan dominasi Barat terhadap dunia ketiga, ia tidak saja dicapai lewat modal, melainkan juga lewat diskursus-diskursus yang sengaja diciptakan secara global. Pandangan Michel Foucault tentang sifat dan dinamika diskursus, kekuatan dan pengetahuan pada masyarakat-masyarakat Barat membantu kita untuk mampu melakukan berbagai kajian serupa berkaitan dengan situasi Dunia Ketiga saat ini.
Paling tidak ada dua apek yang penting untuk melihat dinamika diskursus; perluasan mekanisme disiplinier dan mekanisme normalisasi pada berbagai bidang di Barat ke Dunia Ketiga; dan produksi berbagai diskursus oleh negara-negara Barat tentang Dunia Ketiga sebagai suatu alat untuk mendominasi Dunia Ketiga. Selama empat dekade terakhir ini, diskursus-diskursus ini telah terkristalisasi dalam suatu ruang lingkup strategi yang tak pernah ada sebelumnya, yaitu strategi menghadapi masalah-masalah “keterbelakangan” yang telah muncul dan menyatu dalam suatu rentang waktu beberapa tahun setelah perang dunia kedua.
Kesimpulan yang ingin diberikan oleh Foucault adalah bahwa yang mampu memberikan sumbangan penting pada upaya mempertahankan dominasi dan eksploitasi ekonomi bukan hanya lewat penyebaran pembangunan , tetapi diskursus itu sendiri harus ditanggalkan bila negara-negara Dunia Ketiga itu ingin mengejar jenis atau tipe-tipe pembangunan berbeda. Karena itu implikasi-implikasi yang berhubungan dengan strategi-strategi resistensi perlu diperhatikan secara serius.
Dalam kaitannya dengan rasionalisasi dan takluknya Dunia Ketiga, kita dapat menghubungkan, dalam teori dan praktek, kritik masyarakat disiplinier dan normalisasi teknologi dengan situasi dan perjuangan di Dunia Ketiga. Kita tidak meragukan bahwa impor teknologi dari negara maju memberikan pengaruh yang besar terhadap negara-negara Dunia Ketiga. Tetapi yang dipermasalahkan adalah kasus kapital asing. Impor teknologi tidak memberikan harapan terhadap efek positifnya akibat konflik kepentingan yang ada di antara kekuasaan korporasi yang kebanyakan didominasi oleh negara-negara maju. (Barnet & Muller, 1974:162)
Pendisiplinan dan normalisasi menurut istilah Foucault merupakan dan tidak dapat dipisahkan dari pembangunan kapitalisme. Tunduknya badan-badan dan kontrol terhadap penduduk atau masyarakat adalah tujuan dari jenis kekuatan kaum kapitalis. Anggapan dasar yang dikembangkan Foucault adalah bahwa dalam setiap masyarakat produksi diskursus dikontrol, diorganisasikan dan disebarkan kembali menurut sejumlah prosedur. Karena itu tujuannya adalah untuk mempelajari ketegasan produksi diskursus dan praktek-praktek diskursif di dalam masyarakat-masyarakat Barat.
Resistensi terhadap diskursus-diskursus yang diciptakan negara maju dalam kaitannya mendominasi Dunia Ketiga hanya dapat dilakukan lewat tipe sejarah, melalui perjuangan-perjuangan yang harus dibimbing sejarah, Dunia Ketiga dapat mengembangkan “hubungan kekuatan ekonomi baru”. Sebab interelasi ekonomi dengan faktor-faktor manusia saat ini menyentuh aspek secara luas terhadap perubahan ekonomi, khususnya pada tingkat global sehingga sama sekali tidak dapat dipisahkan dari kelangsungan hidup suatu bangsa. (Simai, 1994:179)
Dunia Ketiga dapat bekerja untuk mencapai ekonomi kekuatan-kekuatan yang baru ini dengan mengambil bentuk-bentuk resistensi terhadap bentuk-bentuk kekuatan lain sebagai suatu titik awal, yaitu mempelajari bentuk-bentuk resistensi yang mempertanyakan status individu, keistimewaan pengetahuan, representasi salah yang dibebankan kepada masyarakat, serta berbagai bentuk eksploitasi, dominasi dan penundukan.
Ada tiga jenis perjuangan utama; pertama, perjuangan melawan bentuk-bentuk ekspolitasi yang memisahkan individu dari apa yang mereka hasilkan, yang dipimpin oleh kelas-kelas pekerja (working classes); kedua, perjuangan melawan bentuk-bentuk dominasi sosial, etnis, seksual, agama, profesi dll, yang dilakukan oleh para individu dan kelompok di dalam wilayah mereka sendiri; ketiga, perjuangan melawan bentuk-bentuk penundukan modern, yaitu bentuk-bentuk penundukan, subyektifitas dan submisi yang mengikat individu dengan dirinya sendiri dan menyerahkan dirinya sendiri kepada orang lain sebagai individu. Walaupun mekanisme-mekanisme penundukan harus dipelajari dalam kaitannya dengan mekanisme-mekanisme eksploitasi dan dominasi , mekanisme penundukan tidak menjadi “terminal” bagi mekanisme ekploitasi dan dominasi.
Di samping itu, hubungan kekuatan dengan jenis hubungan lain yang saling mempengaruhi dengan menimbulkan terjadinya dominasi yang diorganisasikan dalam suatu gerakan strategi yang kurang lebih bersifat koheren dan terpadu. Jadi yang perlu dipelajari adalah proliferasi atau penyebaran “pusat-pusat lokal” dari kekuatan dan ilmu, pola-pola transformasi mereka, cara mereka memasuki suatu strategi secara keseluruhan dan, akhirnya, cara-cara strategi tersebut mendapatkan dukungan dari pola transformasi sebelumnya.

Fakta Global dan Westernisasi Dunia Ketiga
Sejarah mengenai masyarakat Barat dan non Barat atau negara maju dan Dunia Ketiga, khususnya selama periode modern, adalah suatu proses tetap berupa pemberian dan disposisi dari praktek-praktek berlatar belakang sosial, makna-makna sosial dan budaya umum lewat serangkaian diskursus, lembaga, dan praktek-praktek suatu proses di mana kondisi material dari hidup dan mekanisme budaya yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata diubah ke dalam alam perhitungan-perhitungan nyata dan mudah terpengaruh oleh bentuk-bentuk kekuatan pengetahuan yang tidak terbatas jumlahnya.
Habermas telah menyumbangkan sejumlah elemen lain yang membantu kita memahami rasionalitas global yang menandai proses-proses ini dalam masyarakat maju.. Menurut Habermas di dalam masyarakat ini, intervensi negara mengubah kecenderungan-kecenderungan krisis yang terjadi pada sistem yang muncul dari bidang ekonomi mentaati tuntutan-tuntutan akumulasi modal dalam sistem administrasi, politik dan sosial budaya untuk menjamin mode produksi yang langgeng. Secara politik, sistem tersebut mengambil alih tugas perencanaan ideologi. Jadi sistem budaya dimasuki oleh politik; sejumlah aspek budaya, biasanya sudah pasti (pengetahuan sosial implist, praktek-praktek dasar dan nilai-nilai yang dianut bersama) dibawa ke bidang publik, ilmiah dan diskursus-diskursus politik
Hakekat rasio yang berlaku dalam masyarakat dewasa ini, yakni rasio yang berfungsi sebagai alat yang netral untuk mengoperasionalisasikan sebuah sistem. Orang-orang modern yang mengandaikan begitu saja kebenaran rasio semacam ini menganggap bahwa yang “rasional” itu operasional, efektif, efisien, dapat diotomatisasikan, dan dapat dimanipulasi. Rasio tidak mengandung isi moral, sebab semua harapan, penilaian moral, unsure-unsur subjektif, dianggap tidak rasional dan menghambat efektivitas, efesiensi dan operasionalitas sistem sosial dan teknologi. (Hardiman, 1993:17)
Bagaimana cara melihat dari perspektif ini terhadap situasi perjuangan-perjuangan di Dunia Ketiga. Pada tingkat paling umum , kita dapat mengatakan bahwa kekuatan dan pengetahuan jenis baru sedang menyebar di Dunia Ketiga dan berusaha melakukan penyesuaian antara masyarakatnya dan perilaku ekonomi dan budaya tertentu. Lewat proses inilah sistem ekonomi, sosial dan budaya diserap dari Barat, dan hal ini terjadi terutama karena tuntutan-tuntutan ekonomi. Berkaitan dengan itu dimana eksploitasi dan dominasi terjadi dan dipertahankan, tampaknya bidang ekonomi dan non ekonomi mempunyai peran yang sama besarnya.
Di dalam perspektif umum ini, suatu strategi penolakan oleh masyarakat Dunia Ketiga harus didasarkan pada kesadaran akan tiga faktor penting; pertama, bahwa masih ada bidang penting dari praktek dan nilai budaya yang belum ada di Barat. Bidang-bidang yang positif harus dipertahankan, diperkuat dan secara strategis harus dipertentangkan dengan pembentukan politisasi budaya baru. Faktor kedua, bahwa walaupun kesepekatan kelas terjadi pada tingkat tertentu, perjuangan-perjuangan dan konflik-konflik kelas tidak berarti bersifat laten. Setiap strategi resistensi atau penolakan harus menyadari struktur kelas masyarakat di tempat terjadinya penolakan itu.
Di dunia ketiga mekanisme-mekanisme ekspolitasi dan dominasi tetap terjadi, walaupun bentuk-bentuk penundukan kontemporer semakin dirasakan penting dan membantu memelihara eksploitasi dan perbedaan-perbedaan kelas. Fakta bahwa kekuatan dipraktekkan terutama demi memelihara eksploitasi ekonomi, melokalisir perjuangan-perjuangan melawan bentuk-bentuk dominasi dan penaklukan, dilakukan oleh kelompok-kelompok dan berbagai individu melawan bentuk-bentuk kekuatan tertentu
Faktor ketiga yang penting diperhatikan adalah, terdapat beberapa strategi utama yang dibentuk oleh negara-negara maju yang memainkan peran penting dalam memelihara dominasi atas Dunia Ketiga. (a) diskursus di negara berkembang atau Dunia Ketiga dibentuk oleh negara-negara maju. Diskursus itu berhubungan dengan keseluruhan alat perkembangan (mulai dari organisasi internasional seperti Bank Dunia dan Dana Monoter Internasional, hingga lembaga-lembaga pembangunan di tingkat lokal. Demikian pula sejumlah teori besar dibuat oleh organisasi-organisasi dan ahli-ahli internasional di kampus-kampus di Amerika Utara dan Eropa (b) Strategi utama kontemporer untuk penetrasi dan pengendalian Dunia Ketiga diwujudkan dalam teknologi komunikasi dan informasi, khususnya mass media, televisi, dan film-film komersial.
Secara garis besar penekanan dalam tulisan ini diarahkan pada pengendalian produksi diskursus dan cara kerja kekuatan-kekuatan dan pengetahuan yang membuat kita mampu melakukan intepretasi ulang yang bersifat radikal mengenai teori dan praktek pembangunan. Keseluruhan interpretasi itu dapat dinyatakan sebagai berikut: bahwa tanpa mengkaji pembangunan sebagai diskursus kita tidak dapat memahami cara-cara sistematis di mana negara-negara maju di Barat telah mampu memenage dan mengendalikan, dan dalam banyak hal, bahkan menciptakan dan menaklukkan Dunia Ketiga secara politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Walaupun keterbelakangan merupakan suatu bentuk historis nyata, tetapi keterbelakangan telah meningkatkan serangkaian praktek-praktek yang didukung oleh diskursus-diskursus Barat yang merupakan salah satu dari berbagai mekanisme kuat untuk menjaga dominasi atas Dunia Ketiga. Kapitalis dalam hal ini sangat menonjol peranannya. Kapitalisme dalam konteks ini, bukan hanya unsur pengalaman, tetapi juga merupakan suatu konsep. Dengan alasan-alasan sejarah yang tidak sulit untuk direkonstruksi, kapitalisme merupakan konsep yang secara khas berisi penilaian-penilaian baik negatif maupun positif. (Berger, 1990:18)


Pada akhirnya penaklukan Dunia Ketiga dipahami tidak hanya melalui pengendalian modal, tetapi tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan adalah dominasi diskursus teori pembangunan yang dikendalikan dan dikontrol oleh negara-negara maju terhadap Dunia Ketiga. Rasionalisasi global berdampak pada menguatnya dominasi Barat akibat kontrol yang dilakukannya terhadap banyak hal atas Dunia Ketiga
Pandangan dunia Barat merupakan sifat distingtif dari teori-teori mainstream, lama dan baru. Pandangan dunia ini bermuara pada presumsi utopia ekonomi sebagai ilmu yang bebas nilai (Heilbroner, 1973), rasional, analitik dan teknis (Yotopoulos & Nugent, 1976), berurusan dengan pengurutan prioritas investasi dan pemilihan antara alokasi alternatif sumber-sumber jarang untuk mendorong pembangunan ekonomi. Keputusan alokasi kemudian dianggap optimal, yang dikenal dalam buku teks ekonomi sebagai perpect competition (persaingan sempurna), bermula pada tingkah laku rasional dan hukum laissez faire persediaan dan permintaan yang kembali ke invisible hand –nya Adam Smith (1776), bapak ekonomi modern.
Dalam pengertian yang lebih luas, weternisasi, yang mencakup baik pembangunan ekonomi maupun politik, dipakai sebagai “acuan universal”, suatu contoh bagi yang lain untuk diikuti. Dalam periode post perang Dunia II, baik teori pembangunan ekonomi maupun teori modernisasi telah digunakan untuk melakukan westernisasi terhadap Dunia Ketiga.
Dalam masa ini, buku-buku teks dengan cepat menghilangkan budaya-budaya lokal sebagai penghalang atau hambatan bagi pembangunan ekonomi. Dengan cirinya yang sangat teknoktatis dan ahistoris, masa merupakan jaman kejayaan teori pembangunan ekonomi yang merupakan panen teori dan paradigma Barat untuk membimbing negara-negara Dunia Ketiga dalam jalur cepat menuju kemakmuran yang dijanjikan, yang didukung dengan bantuan Barat.
Apa yang dicanangkan Barat dengan dukungan PBB ternyata menimbulkan kekecewaan pada Dunia Ketiga. Sesudah hampir setengah abad pembangunan ekonomi yang dibimbing Barat justru melahirkan kesenjangan antara the haves dan the nots. Dalam banyak bagian Dunia Ketiga justru income-nya telah turun tajam dan menimbulkan lebih banyak kemiskinan sekarang daripada di tahun 1970.
Ketika teori-teori yang di-idealisasikan gagal dalam Dunia Katiga, reaksi yang biasa dari para ekonom mainstream adalah hanya menyusun kembali asumsi-asumsi yang mendasari teori tersebut, yang selalu mempertahankan akar rasionalis Baratnya, tidak pernah menerima kemungkinan konsepsi rasionalisme khusus budaya tertentu. Keadaan ini telah dilukiskan dengan baik dalam kritik rasionalitas oleh Harry Johson:
jika model pasar rasional tidak nampak bekerja secara rasional menurut standar saya, pemahaman saya mengenai bagaimana ia harus bekerja kemungkinan tidak sempurna; dan saya harus bekerja lebih keras dalam teori tingkah laku maksimasi rasional (theory of maximizing behaviour) dan konsekuensi-konsekuensi dari empiris darinya.(Kindleberger, 1989:29).

Dari sinilah, keyakinan yang terus dipegang akan universalitas teori pasar mainstream dan rasionalisme Barat berkembang sebagai orthodoksi. Di sinilah terletak akar-akar rumusan yang terbias dan menyesatkan untuk kebijakan dan perencanaan pembangunan ekonomi Dunia Ketiga.
Hal ini merupakan pandangan dunia yang diproyeksikan dari kerangka zero-sum-game. Dalam kerangka ini, tindakan di dalam relasi pasar tidak dibimbing, dalam artian etis, oleh ideal-ideal teori, demikian pula ia tidak menjadi sasaran pengekangan sukarela untuk menjalankan modernisasi seperti dalam etika non-Barat; idealisasi teori hanyalah berfungsi sebagai strategi negosiasi, seperti dalam kebijakan perdagangan strategis, untuk merasionalisasi atau membenarkan pemerolehan pribadi supaya menang, atau supaya mencetak angka, dengan mengorbankan fihak lain.
Teori-teori pembangunan ekonomi yang sehat perlu didasarkan pada realitas khusus budaya tertentu, yang banyak miripnya dengan bayi yang belajar untuk berjalan dengan kakinya di tanah. Teori-teori yang demikian perlu dibuat secara endogen, secara induktif dan bukannya deduktif, dengan piiran terbuka untuk belajar mengenai nilai-nilai, lembaga-lembaga dan lingkungan silang budaya sebelum merumuskan intervensi kebijakan. Khususnya, para ekonom pembangunan harus mau belajar dari kesalahan masa lampau.
Pada akhirnya, rasionalisasi global yang menjadi bagian sistematis dari upaya dominasi negara maju terhadap Dunia Ketiga tetap menghambat transfer teknologi karena kekuasaan dan ideologi tidak dapat ditrasfer persis dalam bentuk dan cara yang sama sebagai kekuatan ekonomi dan ilmu pengetahuan kepada negara Dunia Ketiga. ( Goulet, 1977: 212)


DAFTAR PUSTAKA

Arief, Sritua. 1997. Pembangunanisme dan Ekonomi Indonesia, Pemberdayaan Rakyat Dalam Arus Globalisasi. Zaman Wacana Mulia : Jakarta.

Barnet, Richard J and Ronald E Muller, 1974. Global Reach, The Power of The Multinasional Corporations, New York, Simon and Schuster Rockefeler Center.

Berger L Peter, 1990, Muh. Oemar (pentj.), The Capitalist Revolution, Fifty Propositions About Prosperity, Equality, an Liberty. Jakarta, LP3S.

Blomstro, Magnus & Bjorn Hettne, 1984. Devolepment Theory in Transition, The Dependency Debate and Beyond: Third World Responses. London, Zed Books Ltd.

Budiman, Arief. 1996. Teori Pembangunan Dunia Ketiga, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Brewen , Antony, 1980. Marxist Theories of Imprealism, A Critical Survey. London, Routledge & Kegan Paul.

Etzkowitz, Henri & Ronald M. Glasman (ed.) 1991. “Max Weber, The Modern World, and Modern Sociology” in The Renascence of Sociological Theory. Itasca, Illinois, F.E. Peacock Publishers, Inc.

Gidden, Anthony, 2000., Ketut Arya Mahardika (pent.), The Third Way. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Goulet, Denis. 1977. The Uncertain Promise: Value Conflicts in Technology Transfer. New York, Idoc/North America.

Hardiman F, Budi, 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta, Kanisius.

Moeljarti. 1995. Politik Pembangunan: Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi. Tiara Wacana, Yogyakarta.

Simahi, Mihaly, 1994, The Future of Global Governance: Managing Risk And Change in The International System, Washington, D.C, United States Institute of Peace Press.

Sugiono, Muhadi, 1999. Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Pustaka Pelajar, 1999.

Syahrir, (peny.), 1997. Analisis dan Metodologi Ekonomi Indonesia. Gramedia, Jakarta.

Winks, Robin W., (ed.), 1963. British Imprealism, Gold, God, Glory. New York, Holt, Rinehart & Winston.






Selamat Datang

"Berbahagia menyambut kedatangan anda di blog ini. Semoga ada manfaat yang anda bawa dan sekaligus meninggalkan manfaat untuk kesuksesan bersama".
Birunya laut seakan mewakili suasana lagit tempat muara pikir dan dzikir bertabur. Saya menunggu karya-karya anda yang melampaui gagasan dan batas-batas imajiner langit.