03 April 2008

ETNOMETODOLOGI STUDI PEMBANGUNAN

Pendahuluan
Perdebatan metodologi dengan penekanan pendekatan kuantitatif dan kualitatif adalah perdebatan klasik yang selalu hangat dibicarakan. Untuk beberapa kasus penelitian sering terjadi klaim-klaim keunggulan antara satu dengan yang lainnya. Meskipun upaya mencari titik temu antara kedua pendekatan ini juga dimunculkan untuk mengurangi ketegangan sekaligus menawarkan pemikiran alternatif. Tulisan ini (etnometodologi studi pembangunan) termasuk mencoba memposisikan diri pada kelompok yang terakhir yakni, menunjukkan ruang di mana pendekatan kuantitatif dan kualitatif saling melengkapi .
Critical Review yang dikehendaki pada tulisan ini akan mengalami kesulitan-kesulitan tertentu jika tidak diupayakan mengembangkan konseptualisasi dengan dukungan data dari perdebatan awal metodologi dalam ilmu-ilmu sosial. Pemahaman yang memadai akan warisan perdebatan ini paling tidak dapat membantu kita untuk membaca dan mengerti hasil-hasil penelitian sampai pada taraf epistimologi dan implementasi.
Adalah Habermas yang menaruh keprihatinan atas pertentangan antara logika ilmu alam dan ilmu-ilmu humaniora. Meskipun jauh sebelumnya Max Weber juga telah ikut terlibat dalam perselisihan metode (methodenstreit) dalam upaya menentukan status keilmuan dari disiplin ekonomi. Perdebatan pada waktu itu adalah berupaya menjawab pertanyaan apakah ilmu ekonomi merupakan ilmu dengan logika nomologis ataukah juga memasukkan logika ideografis sehingga selain ada aspek teoritis metodologis (matematis) juga ada dimensi historis.
Perdebatan itu masih berlangsung hingga sekarang sehingga melahirkan perang yang tidak berkesudahan, meskipun berbagai upaya untuk menyatukan metode (seperti yang dicita-citakan Habermas) juga sedang berlangsung, sehingga terjadi perdebatan antara faham ekonometrik berhadapan dengan ekonomi yang berwawasan sosial budaya (kelembagaan).
Implikasi dari pengetahuan tentang perdebatan metodologi tersebut akan menumbuhkan kesadaran atas wawasan epistimologi. Tanpa memahami perdebatan metodologi yang telah terjadi sebelumnya seseorang dapat keliru dalam memilih metode penelitian sehingga hasil penelitian menjadi kehilangan relevansi. Demikian pula dalam hal membaca hasil-hasil dari penelitian baik yang menggunakan pendekatan kuantitatif maupun kualitatif.
Dalam konteks penelitian dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif di Jawa Tengah, Michael R. Dove kembali memasuki wilayah perdebatan metodologi. Kata kuci yang digunakan baik di awal maupun pada akhir argumentasinya adalah “fakta sosia”. Dove tidak menafikkan peran statistik dalam riset-riset pembangunan, tetapi juga tidak membenarkan untuk semua hal. Mempergunakan statistik dalam banyak hal justru memungkinkan timbulnya kegagalan membangun kesadaran akan arti fakta sosial. Padahal kesadaran akan fakta sosial memiliki peran penting dan akan mengarahkan kita untuk bertanya lebih lanjut, apa sebenarnya fakta sosial itu.
Bahasa yang sedikit ekstrim digunakan Dove untuk menyebut pembangunan desa yang kebanyakan menyandarkan ukuran keberhasilannya dari proses kuantifikasi adalah sebagai ilmu pengetahuan kuatitatif. Argumentasinya adalah bahwa, kuantifikasi yang terlalu dipercaya ini telah menyebabkan adanya kelemahan-kelemahan dalam kebanyakan kerja pembangunan di masa lampau ataupun masa kini.
Dove tampaknya menyadari pentingnya memahami data-data kualitatif dan data-data kualitatif yang didasarkan pada perbedaan epistimologi. Sebab kegagalan pemahaman pada tingkat ini akan berdampak pada buruknya pemahaman terhadap data kuantitatif maupun kualitatif. Pemahaman yang buruk dan keliru atas pembacaan data kedua pendekatan ini pada akhirnya lebih jauh mengalami kegagalan sampai kepada tingkat implementasi pembangunan.
Dasar-dasar historis akhirnya menjadi pilihan Dove untuk memulai perdebatan metode kualitatif dan kuantitatif. Dari penjelasan historis kemudian dilanjutkan pada kritik terhadap penerapannya dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Tidak ketinggalan contoh-contoh hasil penelitian pada pembangunan pertanian dengan pendekatan kuantitatif yang mengalami bias dalam memperoleh dan membaca data.

Kritik Mengenai Analisa Kuantitatif
Emile Durkheim merupakan seorang ilmuwan ilmu sosial yang telah mengembangkan dan mendayagunakan sistem analisa kuantitatif. Dalam studinya mengenai bunuh diri di Prancis, yang diterbitkan pada 1897 dia menulis bahwa, meskipun dia tidak bisa meramalkan apakah seseorang akan atau tidak akan melakukan bunuh diri dalam suatu tahun tertentu, dia bisa meramalkan tingkat persentase yang akan melakukan bunuh diri dari populasi secara keseluruhan.
Apabila populasi kemudian dibagi menjadi sub bagian golongan Katolik dan golongan Protestan, dia mengatakan bahwa, prosentase bunuh diri bisa diramalkan akan lebih tinggi di antara golongan yang nomor dua daripada yang pertama. Menurut Durkeim, hal ini karena sifat integrative agama yang pertama dan sifat disintegratif dari agama yang kedua.
Studi yang dilakukan oleh Durkheim tetap merupakan suatu pernyataan pelopor atas adanya fakta bahwa sikap-tindak kelompok (group behavior) itu bisa diramalkan walaupun tidak bisa untuk sikap-tindak perseorangan. Studinya juga sekaligus menunjukkan bagaimana ilmu berhitung bisa mengubah realitas sosial.
Yang menarik diperhatikan di sini adalah kesimpulan yang diambil oleh Durkheim dalam karyanya yang berjudul The Social Meaning of Suicide ternyata menjadi penyebab Doglas menyerangnya. Doglas menyerang kesimpulan Durkheim yang mengatakan golongan Protestan lebih banyak melakukan bunuh diri daripada golongan Katolik. Serangannya dipusatkan pada sifat data dan persepsi Durkheim atas sifat tersebut. Kesalahan Durkheim terutama dalam mempergunakan statistik pada insiden melakukan bunuh diri pada Protestan dan Katolik sebagai fakta-fakta mengenai bunuh diri.
Menurut Doglas, statistik bukanlah fakta-fakta sama sekali, tetapi sama dengan interpretasi mengenai fakta-fakta. Antara bunuh diri pada golongan Katolik dan Protestan terpaksa memperoleh tafsiran yang berbeda tentang bunuh diri secara statistik hanya karena adanya perintah keagamaan yang lebih keras untuk tidak melakukan bunuh diri pada golongan Katolik. Laporan yang berbeda-beda semacam ini menurut Doglas melemahkan atau menggagalkan kesimpulan yang diambil oleh Durkheim. Penekanan yang sesungguhnya ingin disampaikan oleh Doglas adalah bahwa statistik tidak bisa dipakai begitu saja atau dengan fase value. Lebih baik semua itu dikenal sebagaimana adanya. Bukan sebagai realitas sosial atau pun fakta sosial, tetapi sebagai interpretasi dari realitas atau fakta tersebut.
Kegagalan untuk menangkap fakta sosial di balik atau di luar statistik khususnya, merupakan warisan dari tradisi yang dicetuskan oleh Durkeim hampir satu abad yang lalu. Kegagalan semacam ini hampir ditemukan dalam kasus-kasus penelitian serupa. Kritik-kritik mengenai revolusi hijau misalnya, pada umumnya menunjukkan arti penting dari data kualitatif, khususnya, dari pandangan lokal dan asli terhadap kehidupan. Antropologi dinilai oleh Dove sesuatu yang bersifat unik dalam memberikan kepada kita pandangan orang mengenai diri mereka sendiri. Karena data-data dari ilmu pengetahuan ini merupakan pemikiran-pemikiran dari rakyat dan bukan dari para ahlinya.
Alasan yang menarik untuk diperhatikan adalah anggapan dasar yang selalu menjadi kritikan bidang ilmu lain (ilmu alam) terhadap ilmu sosial yakni, datanya kadang-kadang dicela sebagai bersifat “subyektif”. Memang data-data itu bersifat subyektif apabila dipandang dari sudut rakyat atau informannya, tetapi pasti data-data itu tidak bersifat subyektif apabila dipandang dari sudut para antropolog.
Bagunan dasar yang menjadi perdebatan antara kuantitatif dan kualitatif sebagaimana dikemukakan di atas menjadi penyebab adanya perbedaan-perbedaan ketika saling menilai hasil penelitian masing-masing. Artinya, perbedaan tidak hanya pada tataran teknis, melainkan juga sampai pada perbedaan epistimologi.
Perbedaan dalam cara melihat dan merumuskan realitas akan melahirkan perbedaan-perbedaan proposisi tentang hakekat realitas tersebut beserta konsekuensi-konsekuensinya. Perbedaan pemahaman tentang sesuatu yang dianggap riil, akan diikuti pula oleh munculnya cara yang berbeda dalam memilih data yang relevan bagi realitas tersebut, dan strategi yang berbeda dalam mengumpulkan data. Aspek-aspek investigasi dan pemahaman ini menjadi bagian utuh dari semua sistem makna tadi. Tendensi semacam ini biasanya diterangkan dengan melihat isu-isu ontologi, epistimologi, metodologi dan metode.
Berikut ini beberapa contoh dari hasil penelitian pembangunan yang dilakukan di Jawa Tengah dengan pendekatan kuantitatif dan selanjutnya akan dianalisis mengenai hasil dari penelitian tersebut dengan pendekatan kualitatif.

Sistem Maro
Contoh yang pertama, dari daerah Sleman di lembah (daratan rendah) Jawa Tengah, berkenaan dengan suatu jenis pembagian hasil panen yang disebut maro. Secara tradisi pembagian hasil panen yang paling umum di daerah ini adalah, para petani memberikan semua input pertanian kecuali tanhnya itu sendiri, dan kemudian membagi hasil panen (dibagi dua) dengan pemilik tanah.
Terdapat kekacauan sistem dari kasus ini sebagai akibat yang tidak diperhitungkan sebelumnya dalam program revolusi hijau. Hal ini disebabkan oleh adanya fakta bahwa, dengan digunakannya varietas-varietas padi yang bisa berproduksi tinggi daripada out put (pengeluaran). Permasalahan bagi petani maro adalah bahwa, setiap peningkatan pembiayaan per unit hasil panen dirasakan pada tingkat lipat-dua karena mereka harus membagi hasil panen tersebut dengan pemilik tanah. Pemilik tanah tidak memikul beban naiknya ongkos pembiayaan karena tidak memberikan apapun kecuali tanah tadi. Namun pemilik tanah turut menerima separuh dari kenaikan hasil. Ketidakseimbangan ini sedemikian rupa sehingga tatanan maro tidak akan bertahan lama dalam kondisi-kondisi demikian.
Dalam situasi ketidakseimbangan, petani maro bisa berpindah ke bentuk lain dalam pembagian hasil panen, walaupun biasanya kurang mereka senangi, sebab memberikan pada petani suatu pendapatan yang lebih besar daripada yang didapatnya dengan sistem maro. Bisa juga dengan sistem maro, tetapi dengan memperkecil atau menghilangkan berbagai input yang mahal yang harus dipenuhi untuk penanaman varietas-varietas padi dengan hasil prosuksi tinggi. Strategi yang terakhir ini tentunya berakibat kurang baik bagi penanaman varietas-varietas itu.
Apa sesungguhnya yang ingin diperhatikan dalam kasus petani dengan sistem maro ini adalah sebuah hasil penelitian yang secara signifikan terutama dalam kalkulasi ekonomis program revolusi hijau berhasil meningkatkan hasil pertanian, tetapi gagal memberikan keseimbangan penghasilan antara petani penggarap dan petani pemilik tanah.
Terjadi perbedaan pemaknaan antara petani penggarap dengan pengambil kebijakan pembangunan. Di satu sisi program revolusi hijau dipandang oleh peneliti sebagai sebuah keberhasilan pembangunan, sementara dalam waktu yang bersamaan petani penggarap tidak melihatnya sebagai upaya sistematis yang dilakukan untuk meningkatkan penghasilan mereka. Terbukti dengan tingginya biaya input yang harus dikeluarkan petani penggarap tetapi tidak memberikan hasil yang lebih besar karena tetap juga harus berbagi keuntungan dengan pemilik tanah yang sama sekali tidak punya andil dalam program tersebut kecuali menyediakan tanah.

Pengaruh Bimas
Contoh hasil penelitian kedua adalah program Bimas atas kehidupan desa di Sleman. Program ini beresiko tinggi untuk mengalami kegagalan karena kesalahan penerapan data statistik. Program ini menyediakan kredit keuangan pemerintah kepada para petani yang ingin mengambil dan menggunakan input-input teknologi yang dibutuhkan dalam penanaman padi produksi tinggi. Programnya diperuntukkan bagi para petani dengan pemilikan tanah yang luasnya sekitar setengah hektar atau lebih. Hal ini berarti bahwa secara statistik sasaran program ini hanya diperuntukkan bagi sebagian kecil petani di Jawa. Untuk Sleman hanya 23 persen. Meskipun begitu, di daerah ini para petani yang lebih kecil jumlahnya bisa menggunakan keuntungan-keuntungan dari program Bimas dengan membeli pupuk, pestisida, dan sebagainya dari petugas pelaksana program tersebut.
Adanya pengaturan-pengaturan semacam ini mempunyai beberapa implikasi untuk program Bimas. Pertama, fakta bahwa para petani kecil ini dengan sukarela menggunakan kredit-kredit dengan input-input teknologi. Artinya, petani yang jumlahnya 77 persen di luar dari sasaran program Bimas ternyata memperlihatkan bahwa, mereka justru sanggup atau mampu mempergunakannya. Hal ini berarti bahwa suatu penyebaran resmi untuk program Bimas kepada para petani kecil mungkin diperlukan. Meskipun mungkin para petani mengungkapkan rasa puas mereka dengan peran tidak resmi dalam program Bimas sekarang, hal ini dapat merugikan program itu secara keseluruhan.
Karena partisipasi mereka tidak kentara dan dan tak diharapkan, dapat berarti bahwa input-input pertanian dari program Bimas sebenarnya sedang disalurkan kepada para petani yang lebih besar jumlahnya, dan demikian juga dengan areal yang lebih luas daripada yang dimaksudkan. Berkurangnya input-input ini mungkin bisa membahayakan keberhasilan program tersebut. Misal, input per unit daerah jatuh hingga melampaui batas-batas kritis.
Dari contoh hasil penelitian program Bimas kembali ditunjukkan bahwa ada proses-proses kebijakan pengembangan program Bimas yang sebelumnya dilakukan dengan kalkulasi statistik mengalami kegagalan pemaknaan terhadap sasaran. Kegagalan semacam ini tetap berkaitan dengan kata kunci yang digunakan Dove untuk mengkritisi hasil-hasil penelitian pembangunan pertanian, yakni kesadaran tentang fakta sosial.

Peranan Sepedamotor di Desa
Contoh ketiga adalah hasil dari sebuah penelitian yang bermaksud melihat pengaruh spedamotor bagi kehidupan pedesaan di Sleman. Asumsi awal penelitian ini melihat adanya perkembangan pesat dalam pemilikan dan pengguna sepedamotor di seluruh propinsi sebesar 28 persen pertahun dalam priode 1977-1981.
Dalam pemakaiannya, orang-orang desa kurang setuju dengan cara mengendarai sepedamotor yang gila-gilaan, membahayakan, dan tidak menuruti hukum. Dasar dari kekurang setujuan ini adalah meningkatnya jumlah kecelakaan dan kematian yang berhubungan dengan lalu lintas. Meskipun demikian setidak-tidaknya terdapat keprihatinan yang sama besarnya atas akibat tidak langsung dari fenomena ini. Salah satu akibat tidak langsung yang paling penting adalah, melemahnya kontrol sosial yang tradisional dan hal ini tidak dapat diharapkan.
Bisa dikatakan ada pertautan antara pengguna sepedamotor dengan pola sikap tindak khusus atau mungkin bersifat unik. Pola ini ditandai dengan sifat kepribadian, sifat anonomous, dan sifat existential, yang nampaknya tanpa disertai dengan teladan dalam masyarakat Jawa tradisional. Apabila interaksi dilakukan dalam konteks tradisionil, dia akan berpartisipasi sebagai suatu bagian dari kelompok, di mana peraturan dan norma menekan sikap-tindaknya akan disalurkan ke arah yang bisa diterima kelompok itu. Tekanan-tekanan itu semakin diperkuat dengan adanya fakta bahwa identitas khususnya dikenali oleh orang-orang lain dalam pertemuan itu.
Pertemuan dalam konteks tradisionil sangat berbeda dengan pertemuan yang terjadi di jalan sewaktu menggunakan sepeda motor. Pertama, pertemuan sewaktu menggunakan sepeda motor hanya melibatkan dua pengendara yang saling terpisah. Karena hal ini, dan juga karena sifat mudah bergerak (mobilitas) serta kecepatan sepeda motor, semua ini menjadi pertemuan-pertemuan antar orang asing yang tidak saling mengenal, dan karena sifat individu ini, pertemuan di jalan tersebut mempunyai penekanan pada diri pribadi, bukan pada orang lain yang jauh dari sifat-sifat khusus pertemuan tradisionil. Ini mungkin merupakan satu sebab bagi pengembangan penggunaan sepedamotor, yaitu fakta bahwa hal ini membantu pelepasan diri dari tekanan-tekanan tradisional yang sering sangat memberatkan..
Penelitian ini sesungguhnya ingin menunjukkan bahwa sikap-tindak pengguna sepedamotor telah memungkinkan diperoleh sifat yang ekstrim karena sistem hukumnya. Walaupun kepemilikan sepedamotor naik 28 persen per tahun, insiden pelanggaran di seluruh propinsi telah naik dengan 144 persen per tahun untuk segala jenis kendaraan bermotor. Meningkatnya kecemasan orang-orang desa atas suatu dunia di mana peraturan-peraturan yang baru belum lagi ada, belum diketahui, tidak bisa dimengerti, atau tidak jelas.

Kapal Pukat di Jepara
Contoh terakhir yang dapat memperlihatkan kegagalan dalam mensingkronkan antara statistik sosial dan fakta sosial adalah penelitian tentang pengaruh kapal-kapal pukat terhadap desa-desa nelayan di Jepara, pantai utara Jawa Tengah sejak 1972 sampai 1981. Penelitian ini menjelaskan bahwa dikembangkannya kapal pukat menimbulkan peningkatan efisiensi dan produktifitas industri perikanan pantai utara; dan ini dapat dikatakan sebagai keberhasilan pembangunan.
Meski penelitian ini menunjukkan adanya keberhasilan pembangunan, tetapi ada dua alasan yang dapat menunjukkan kesimpulan tersebut mengalami kesulitan pembacaan terhadap realitas sosial. Pertama, kapal-kapal pukat jelas mengakibatkan pengurangan sumber perikanan jangka panjang. Dipandang dari segi manapun ini tidak diinginkan kecuali mungkin bagi para pemilik pukat itu. Kedua, kapal-kapal pukat itu betul-betul merusak kehidupan dan kesejahteraan para nelayan kecil di sepanjang pantai tersebut.

Kritik dan Kesimpulan
Dari contoh-contoh yang dikemukakan memberikan kemungkinan jurang yang ada antara statistik sosial dan fakta sosial. Apa yang ingin disampaikan Dove dalam tulisan ini adalah bahwa, pengaruh-pengaruh dari luar terhadap obyek penelitian dapat salah dalam analisa-analisa. Suatu analisa yang lebih sensitif dapat memperbaiki pengertian, pengendalian, dan memonitoring pengaruh-pengaruhnya.
Yang menjadi argumentasi Dove adalah bahwa analisa yang lebih baik dan tepat dari fenomena sosial akan terdapat pada taksiran yang tepat dari data kuantitatif dan analisa kualitatif dalam ilmu pengetahuan pembangunan. Sebagian studi pembangunan menjadi kurang benar karena penggunaan statistik yang buruk. Ini merupakan permasalahn yang asli. Tetapi ini bukan permasalahan terutama dalam studi demikian. Bahkan dengan menggunakan statistik yang baik pun masih terdapat masalah. Peremasalahan-permasalahan ini berhubungan dengan anggapan sifat epistimologis dari statistik sikap tindak (misal, sosial ekonomi).
Dalam studi-atudi pembangunan sangat sering ada anggapan bahwa, statistik yang digunakan sebagai data primer merupakan gambran langsung dari sikap-tindak nyata dunia yang sebenarnya. Tidak ada statistik mengenai tindak-tindak itu di dunia yang nyata. Semua statistik demikian merupakan gambaran suatu seleksi dan abstraksi dari fenomena asli dunia nyata. Seleksi srta abstraksi ini seyogyanya didasarkan atas analisa-analisa kualitatif dari fenomena-fenomena tersebut.
Bila kita kembali kepada contoh terdahulu, tingkat pendapatan tidaklah ada. Sebenarnya apa yang disebut “pendapatan bersih” di dunia nyata . “Pendapatan bersih” itu tidak lebih daripada suatu rekaan konstruksi analisa, yang dikembangkan oleh para ekonom dan dipergunakan untuk menafsirkan dan meramalkan sikap-tindak yang ada pada suatu desa. Dalam mengembangkan rekaan konstruksi ini, ekonom yang menentukan apa itu “pendapatan” dan apa yang tidak boleh disebut pendapatan.
Apabila para ekonom dapat menggunakan rekaan konstruksi ini untuk meramalkan sikap-tindak secara sempurna dan berhasil, ini berarti bahwa ia merupakan rekaan konstruksi yang berguna. Tetapi tidak berarti bahwa, sifat epistimologis dari rekaan konstruksi bisa berarti lain daripada hanya suatu abstraksi dan interpretasi dari realitas sikap-tindak, yang berlainan dengan kenyataan realitasnya.
Fakta bahwa tidak ada angka-angka di dunia yang nyata, dan bahwa semua angka-angka didasarkan pada penilaian secara kualitatis data, hal ini mempunyai implikasi penting bagi metodologi dalam studi pembangunan. Sering dikatakan bahwa, studi-studi pembangunan jangka pendek seharusnya dipusatkan pada pengumpulan dan penilaian dari apa yang disebut data kuantitatif saja, karena adanya keterbatasan waktu yang tidak memungkinkan pengumpulan dan pendayagunaan data-data kualitatif, selayaknya sekarang sudah jelas bahwa hal itu tidak betul. Karena semua data kuantitatif mengenai sikap-tindak manusia didasarkan atas penilaian kualitatif sikap tindakan tersebut, pengumpulan data kuantitatif tidak akan dapat lebih cepat daripada pengumpulan data kualitatif, dan penipuan diri sendiri yang berkenaan dengan ketergantungan pada yang pertama tidak akan menghasilkan suatu studi yang lebih baik daripada kesadaran diri untuk bergantung.
Kesalahan dalam penggunaan statistik sosio-ekonomi ialah, karena ia dianggap sebagai data primer disbanding dengan interpretasi skunder dari data tersebut. Kesalahan kedua adalah anggapan bahwa statistik mengenai populasi besar mutlak lebih baik daripada populasi kecil. Tidak ada pernyataan yang sama sekali tidak betul, atau sama sekali tidak berguna apabila semua didasarkan atas populasi yang kecil atau sample yang kecil dari populasi.
Penilaian atas statistik sosial memang didasarkan pada argumentasi antropologis dan data kualitatif dalam studi-studi menganai pembangunan. Ini bukan berarti para antropolog tidak mengalami kesulitan dalam meninggalkan semua pre konsepsi (pra-anggapan) dan prasangka-prasangka dari kebudayaannya sendiri dikala mempelajari sesuatu kebudayaan asing. Bukan pula maksudnya mengatakan bahw adata dan analisa statistik selalu tidak dapat dipercaya dan tidak relevan lagi.
Kembali pada Durkeim, pengertian dari karyanya bukanlah hanya berarti bahwa, analisa-analisa kualitatif itu selalu melanggar validitas analisa kuantitatif. Pengertian yang sebenarnya adalah bahwa, kedua macam analisa tersebut dapat memberikan informasi dan mengarahkan pada lain sebagaimana mestinya. Keduanya bukan merupakan suatu alternatif bagi yang lain tetapi merupakan aspek pelengkap dari satu-satunya pendekatan bagi analisa realitas sosial.
Yang ingin diluruskan dalam kajian ini adalah bahaya anggapan bahwa, metodologi merupakan suatu faktor tetap, yang tidak terpengaruh oleh prasangka-prasangka khusus dari peneliti dan yang tidak mempengaruhi hasil risetnya. Tampak adanya bahaya anggapan bahwa apa yang kita lihat atau tangkap dan kita perlakukan sebagai fakta-fakta sosial, memang fakta-fakta sosial. Kesadaran ini mengarahkan perhatian kita pada apa yang akan merupakan pertanyaan awal dalam segala penyelidikan sosial yaitu, apakah fakta-fakta sosial itu.
Perdebatan klasik tentang metodologi dalam ilmu-ilmu sosial pada akhirnya bermuara pada pemaknaan tentang realitas sosial. Dari pertanyaan sederhana inilah melahirkan sekurang-kurangnya tiga metodologi ilmu pengetahuan. Pertama, positivisme sebagai awal revolusi struktur ilmu. Kedua, hermeunetik historical sebagai metodologi yang berusaha membangun teori atau filsafat ilmu pengetahuan tentang interpretasi makna. Ketiga, kritik sosial yang berusaha menghubungkan pengertian antara pengetahuan (knowledge) dan aksi (action). Jika positivisme berusah mencari penjelasan (explanation), maka hermeunetik hestorikal berusaha mencari pemahaman (understanding), sedangkan kritik sosial menjadikan refleksi diri sebagai pusat metodologi dan inti konsepnya.

06 Februari 2008

MARJINALISASI NEGARA-NEGARA DUNIA KETIGA (Sebuah Analisis Terhadap Teori Keunggulan Komparatif )

Pendahuluan
Di tengah perdebatan teori-teori pembangunan, keterbelakangan, dan kemiskinan dunia ketiga, muncul berbagai spekulasi terhadap gagalnya teori keunggulan komparatif mengimplementasikan konsepnya sampai pada tataran praxis. Ide dasar yang dikembangkan adalah keuntungan dan kesejahteraan yang diperoleh bersama antara negara industri dan negara agraris sebagai konsekuensi logis dari pembagian kerja secara internasional.
Bahkan ada kecenderungan yang kuat untuk menilai teori keunggulan komparatif sebagai bentuk eksploitasi dan penindasan terselubung negara industri terhadap negara agraris. Ini terbukti setelah negara industri semakin meraup keuntungan yang besar sementara negara agraris mengalami kemiskinan hebat.
Adalah Raul Prebich, seorang ahli ekonomi leberal, sekretaris eksekutif sebuah lembaga PBB yang didirikan pada tahun 1948 di Santiago De Chile tertarik untuk menelusuri kegagalan teori keunggulan komparatif ini. Perhatian Prebich terkonsentrasi kepada persoalan mengapa negara-negara yang melakukan spesialisasi di bidang industri menjadi negara-negara kaya, sedang mereka yang memilih bidang pertanian tetap saja miskin.
Menurut Prebrich, adanya teori Pembagian Kerja secara Internasional yang yang didasarkan kepada teori keunggulan komperatif membuat negara-negara di dunia melakukakn spesialisasi produksinya. Oleh karena itu negara di dunia terbagi menjadi dua kelompok; negara-negara pusat yang menghasilkan barang industri, dan negara pinggiran yang menghasilkan barang-barang pertanian. Keduanya saling melakukan perdagangan. Dan menurut teori di atas seharusnya keduanya saling menguntungkan dan sama-sama kaya, tetapi kenyataan menunjukkan hal yang sebaliknya. Mengapa demikian ? atau apakah teori pembagian kerja yang dimaksudkan pada akhirnya akan memarjinalkan peran negara-negara dunia ketiga ? Persoalan inilah kemudian yang akan dianalisis dengan berbagai pendekatan.
Prebrich menunjuk pada penurunan nilai tukar dari komoditi pertanian terhadap komoditi barang-barang industri. Barang-barang industri menjadi semakin mahal dibandingkan dengan barang-barang hasil pertanian. Akibatnya terjadi defisit pada neraca perdangangan negara-negara pertanian bila mereka berdagang dengan negara-negara industri. Dan defisit ini makin lama makin dirasakan menjadi beban yang besar.
Gejala ini dapat dijelaskan pertama, karena permintaan untuk barang-barang pertanian tidak elastis. Di sini berlaku apa yang disebut sebagai “Hukum Engels”, yang menyatakan bahwa pendapatan yang meningkat menyebabkan prosentasi konsumsi makanan terhadap pendapatan justru menurun. Artinya pendapatan yang naik tidak menaikkan konsumsi untuk makanan, tetapi justru menaikkan konsumsi barang-barang industri. Akibatnya, anggaran negara pertanian yang digunakan untuk mengimpor barang-barang industri dari negara-negara pusat akan semakin meningkat, sedangkan pendapatan dari hasil ekspornya relatif tetap.
Kedua, negara-negara industri sering melakukan proteksi terhadap hasil pertanian mereka sendiri sehingga sulit bagi negara pertanian untuk mengekspor ke sana. Inilah yang memperkecil jumlah ekspor negara pinggiran ke negara pusat. Ketiga, kebutuhan akan barang mentah dikurangi sebagai akibat dari adanya penemuan-penemuan teknologi baru yang dapat membuat bahan-bahan menjadi sintesis.
Jika negara pinggiran mengalami ketimpangan dari hasil pembagian kerja secara internasional, maka negara pusat yang memproduksi bahan-bahan industri justru memperoleh keberuntungan. Hal ini dapat terjadi karena pertama, kenaikan pendapatan mengakibatkan juga kenaikan pada konsumsi barang-barang industri. Karena itu kenaikan pendapatan di negara industri tidak banyak menaikkan impor barang-barang pertanian. Tetapi sebaliknya kenaikan pendapatan di negara pertanian menyebabkan meningkatnya impor barang-barang industridari negara-negara pusat.
Kedua, kemakmuran yang meningkat, dan kekuatan stabilitas politik yang relatif membaik berdampak pada membaiknya posisis tawar menawar kaum buruh. Akibatnya, upah buruh juga terus meningkat. Dampaknya kemudian adalah upah buruh menjadi semakin tinggi. Seiring dengan meningkatnya upah buruh, harga jual barang industri pun menjadi semakin mahal. Kenaikan harga barang industri ini tidak diikuti oleh kenaikan permintaan dan harga barang-barang pertanian. Sehingga pada akhirnya kesenjangan pendapatan antara negara pertanian dan industri mengalami ketimpangan. (Arief Budiman : 1996)
Yang menjadi masalah serius kemudian adalah posisi Indonesia dalam pembagian kerja ternyata bertahan lama pada kelompok negara spesial di bidang pertanian yang sangat lambat melakukan perubahan pembanguinan ekonomi dari pertanian ke industri manufaktur. Artinya, Indonesia tidak termasuk diuntungkan dalam pembagian kerja internasioanl tersebut. Akan lebih parah lagi jika melihat kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia tetap terkonsentrasi pada prioritas pembangunan di sektor pertanian dan tidak menunjukkan adanaya peningkatan di sektor industri secara signifikan.
Padahal, sektor pertanian yang sehat dalam suatu negara miskin secara material dapat juga memberi sumbangan terhadap laju pertumbuhan yang lebih cepat dan merata bagi sektor perekonomian lainnya. (Syahrir: 1991)
Persoalan ini, meski tidak dilihat sebagai satu-satunya alasan, baik dilihat sebagai kajian lokal, regional maupun internasional menjadi faktor yang menentukan dirobahnya orientasi pembangunan dari pertanian ke pembangunan industri, baik industri padat karya maupun industri padat modal.
Setidaknya tesis Tokman membantu kita untuk memperoleh gambaran dengan dukungan bukti-bukti empiris dan data di Indonesia yang menyebutkan angka-angka perbedaan produktivitas antar sektor dalam ekonomi Indonesia untuk priode 1971 – 1990 misalnya. Perbedaan produktivitas antar sektor dalam ekonomi Indonesia selama priode ini secara umum bersifat statis atau tidak meningkat. Rasio antara produktivitas sektor pertanian dengan produktivitas non pertanian praktis tidak berubah, yaitu sebesar 0,25 pada tahun 1971, sebesar 0,26 pada tahun1985 dan sebesar 0,24 pada tahun 1990. Kesenjangan antara sektor pertanian dan industri telah bertambah parah . Rasio antara sektor pertanian dan industri telah turun dari 0,56 pada tahun 1971, menjadi 0,32 pada tahun 1985, dan menjadi 0,23 pada tahun 1990. (Sritua Arief : 1997)

Perubahan Arah Pembangunan Ekonomi di Indonesia
Pada tahun 1951 diperkenalkan suatu kebijakan ekonomi yang dikenal dengan Rencana Urgensi Perekonomian. Kebijakan ini dilandasi suatu gagasan mulia yakni mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, dengan industrialisasi sebagai motornya. Sejajar dengan itu pertanian sebagai realitas dominan yang ada di masyarakat tidak dikesampingkan.
Pada Repelita I tujuan dan arah pembangunan sektor industri yang ditetapkan adalah industri yang mendukung dan saling berkaitan dengan sektor pertanian, industri yang dapat menghasilkan atau menghemat devisa dengan cara subtitusi impor, industri padat karya dan industri yang mendorong usaha-usaha pembangunan regional.
Sementara itu industri yang berkembang pada masa awal Orde Baru memperlihatkan beberapa ciri spesifik. Ciri pertama adalah; keanekaragaman sektor industri. Perusahaan yang bergerak di sektor industri ada tiga golongan yakni; perusahaan besar dan sedang yang termasuk sektor industri modern, perusahaan kecil, dan perusahan industri rumah tangga. Keanekaragaman ini membawa dampak dilema ketika harus menentukan skala prioritas antara pembangunan industri padat karya atau padat modal. Apabila tekanan diberikan kepada penciptaan lapangan kerja dan memerangi kemiskinan maka penyaluran sumber-sumber ekonomi yang ada mengalir pada perusahaan kerajinan rumah tangga yang sering kali tidak produktif dan relatif singkat usianya.
Ciri kedua adalah sempitnya basis industri dan ketergantungan pada sektor pertanian. Sedikit jumlah sektor industri yang mengolah hasil pertanian. Pada umumnya industri pertanian berkutat pada pengolahan hasil kerajinan, jarang ditemukan jenis usaha angro industri.
Ketiga adalah adanya perbedaan yang mencolok antara perkembangan industri di pulau Jawa dan pulau Luar Jawa. Pulau Jawa memiliki proporsi tenaga kerja yang lebih besar, sementara industri di Luar Jawa belum berarti banyak.
Pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang antara daerah perkotaan dan pedesaan telah menimbulkan apa yang disebut prematur urbanization (urbanisasi yang prematur) yang bersamaan dengan terjadinya apa yang disebut struktural deformation (deformasi struktural) dalam ekonomi. Tenaga kerja yang berpindah ke daerah perkotaan, yang mengalami proses pertumbuhan yang tinggi, tidak dapat ditampung secara berarti dalam sektor industri.
Ketidaksanggupan sektor industri menyerap tenaga kerja secara baik disebabkan oleh dua faktor utama. Faktor yang pertama adalah kapasitas akumulasi yang relatif rendah dalam sektor industri, sehingga terjadi apa yang disebut dynamic insufficiency (ketidakcukupan dinamis) yang disebabkan banyaknya sumber-sumber investasi yang dialokasikan untuk produksi barang-barang konsumsi mewah.sehingga surplus konsumsi tidak dapat dialokasikan untuk ekspansi kapasitas produksi. Akumulasi surplus terjadi akhirnya tidak dapat digunakan untuk menimbulkan secara luas kapasitas produksi yang baru untuk menampung tenaga kerja yang banyak. Kedua adalah penggunaan teknologi yang padat modal dalam sektor industri.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa perubahan konsentrasi kebijakan dari sektor pertanian ke sektor industri tetap menyisahkan masalah yang tidak sedikit. Persoalan yang timbul di sektor industri tidak dapat dilepaskan sepenuhnya dari kebijakan sektor pertanian yang pengelolaan dan kesiapan penyesuaiannya tidak dengan mudah melepaskan persoalan-persoalan klasik.
Banyak analisa sosial yang dibutuhkan untuk pembangunan ekonomi memberi kesan bahwa masyarakat industrialisasi dengan cepat haruslah mendobrak ikatan-ikatan tradisionalnya, membutuhkan tingkat yang benar-benar fleksibel di dalam hubungan-hubungan peranan, keinginan-keinginan untuk memperlakukan kekuatan pasar (market force), dan kebebasan individu, serta sistim rekrut bagi posisi penting yang secara luas didasarkan pada kreteria prestasi dan bersifat umum. Pendeknya melihat kepada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ini dalam masyarakat yang berbeda terdapat kesan adanya beberapa kelengkapan-kelengkapan ekstra dalam cara dimana pendidikan benar-benar membantu pembangunan. (Khaeruddin, Peny. : 1984)
Industri manufaktur di Indonesia mengalami pertumbuhan yang relatif pesat terutama pada satu dasawarsa terakhir (1980-1990). Pertumbuhan sektor ini priode tahun 1970 –1980 rata-rata sebesar 14 % pertahun. Di masa mendatang produk manufaktur diproyeksikan masih merupakan komoditi andalan ekspor non migas. Untuk itu pemerintah dalam Repelita VI terus menggalakkan promosi investasi di sektor manufaktur baik melalui skema Portofolio maupun investasi langsung Pemasukan Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Pemasukan Modal Asing (PMA).
Dalam konteks di atas pemerintah harus melakukan penajaman prioritas industri manufaktur yang memiliki daya saing tinggi di pasar dunia. Perubahan dari orientasi komparatif kepada persaingan kompetitif diharapkan menjadi landasan kuat untuk memulai era industri yang tidak saja berbasis pada industri padat modal, tetapi juga memiliki kemampuan menyerap tenaga kerja produktif yang handal.
Dalam era globalisasi, prilaku bisnis dituntut untuk menyesuaikan strategi kompetitifnya dengan tidak lagi mengandalkan keunggulan komperatif tetapi strategi keunggulan kompetitif (convetitive advantange) menjdi prioritas targetnya.
Berdasarkan faktor intensitasnya, produk industri manufaktur dapat diklasifikasikan ke dalam :
1. Industri yang mengutamakan sumber daya alam (natural resource intensive)
2. Industri yang mengutamakan tenaga kerja murah (unskilled labour intensive)
3. Industri manufaktur padat modal (phisical capital intensive)
4. Industri manufaktur berteknologi tinggi. (INDEF: 1997)

Transformasi Struktural atau Marjinalisasi
Proses perkembangan ekonomi suatu negara telah sering diartikan atau difahami sebagai suatu proses transformasi struktural. Proses transformasi struktural ini adalah dalam bentuk terjadinya pergeseran dari sektor pertanian ke sektor industri dan kemudian ke sektor jasa-jasa. Dalam hal ini proses perkembangan ekonomi ditandai oleh perubahan dalam konstribusi sektoral terhadap output nasional sebagai akibat terjadinya pergeseran tenaga kerja nasional dari sektor pertanian ke sektor industri dan kemudian sektor jasa-jasa. Sektor jasa-jasa dianggap sebagai sektor tertinggi dalam perkembangan ekonomi.
Teori transformasi struktural dalam perkembangan ekonomi bukanlah jaminan atas keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia. Tetapi yang menjadi penekanan adalah bagaimana proses transformasi ini dapat berjalan dengan meminimalkan resiko sosial yang harus ditanggung. Pekerja sektor pertanian misalnya, sebagai sektor yang secara kultural dan struktural menjadi lahan pekerjaan yang paling banyak ditekuni masyarakat Indonesia, dipaksa membaca realitas sesungguhnya agar tidak salah dalam menentukan pilihan-pilihan hidup. Harus diakui pula bahwa kendala-kendala psikologis maupun teknis tetap menjadi bagian yang tidak terpisahkan ketika proses transformasi ini berlangsung.
Kelompok peneliti Berkeley mengemukakan argumentasi bahwa perkembangan ekonomi hendaknya dipahami dan diinterpretasikan bukan hanya dalam konteks pergeseran dari sektor pertanian ke sektor manufaktur dan kemudian ke sektor jasa. Tahap perkembangan ekonomi hendaknya dipahami dalam pengertian dinamika yang terjadi dalam kegiatan inti dan pendukung.
Dalam tahap transformasi di bidang industrialisasi, beberapa kegagalan ditemukan justru pada saat dilakukan pendekatan pembangunan yang mengutamakan industrialisasi subtitusi impor yang padat modal. Disamping itu terdapat juga sikap pesimisme mengenai keberhasilan program industrialisasi promosi ekspor dalam memecahkan persoalan pembangunan di Indonesia.
Pertumbuhan industri manufaktur di Indonesia khususnya, mengalami peningkatan pesat pada tahun 1970 an, hampir setinggi Korea. Tetapi pertumbuhan tersebut berangkat dari dasar yang sangat kecil, dan dibandingkan dengan GDP maupun sektor pertanian. (Mohamed Arief & Hal Hill : 1988 )
Ada dua strategi yang dikembangkan dalam memacu pesatnya pertumbuhan ekonomi. Pertama strategi subtitusi impor, dengan harapan, sektor industri manufaktur dapat bertumbuh dengan lebih pesat dan penggunaan devisa dapat dihemat. Kedua, strategi promosi ekspor, yang diduga lebih menjanjikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dibandingkan strategi subtitusi impor. Ada 4 alasan yang dikemukakan oleh Wakil Presiden Bank Dunia untuk menjelaskan hal ini: (1) Kaitan sektror pertanian dan industri (2) skala ekonomi (3) dampak persaingan atas prestasi perusahaan (4) dampak kekurangan devisa atas pertumbuhan ekonomi. (Thee Kian Wie : 1988)
Pilihan-pilihan strategis dalam penentuan arah pembangunan ekonomi pada akhirnya akan merujuk kepada kesiapan berbagai faktor pendukung dalam proses transformasi struktural dari pertanian ke industri, maupun pada pemilihan sektor jasa sebagai arah kebijakan pembangunan ekonomi. Dalam konteks Indonesia, pilihan-pilihan struktur pembangunan ekonomi yang dikemukakan berbagai ahli ekonomi maupun pengalaman pembangunan yang telah dialami sejak awal kemerdekaan sedikit banyak membantu memberi referensi yang sangat berarti. Setidaknya sektor pertanian terpacu secara berkesinambungan seiring pengembangan sektor industri yang tengah dipacu pertumbuhannya.
Untuk mencapai pertumbuhan yang berkesinambungan, yang merupakan inti tujuan utama pembangunan ekonomi, diperlukan transformasi dan perubahan struktur ekonomi yang pada gilirannya sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam melakukan industrialisasi. Pembangunan ekonomi selama orde baru telah mengubah struktur ekonomi sesuai dengan pola-pola umum yang terjadi di negara berkembang seperti semakin kecilnya peran sektor pertanian, meningkatnya sumbangan sektor manufaktur terutama dalam produk domistik bruto (PDB). Disektor manufaktur juga telah terjadi perubahan struktur yang cukup mendasar, baik dalam komposisi produk-produk utama, keragaman barang-barang yang diproduksi maupun kandungan teknologinya. (Mari Pangestu Dkk, Peny. : 1996)
Meski strategi pembangunan yang diterapkan di berbagai negara berkembang termasuk Indonesia tengah mengalami perubahan struktur yang cukup mendasar, tetapi haruslah dipahami juga bahwa perubahan struktural tersebut tidak semata-mata dapat dilihat dengan pendekatan ekonomi makro. Ide-ide pembangunan yang turut berubah sebagaimana ditunjukkan oleh perubahan dramatis kebijakan ekonomi pemerintah negara-negara berkembang di penghujung 1970-an dan awal 80-an juga punya andil yang tidak sedikit. Kebijakan ekonomi domestik maupun internasional pemerintah negara-negara berkembang ditransformasikan melalui introduksi dan adopsi semacam reformasi liberalisasi ekonomi yang diniatkan untuk menata kembali peran dan keterlibatan negara dalam ekonomi.(Antonio Gramsci : 1999).
Kebutuhan akan dukungan infra struktur seperti keterampilan teknis dan pendidikan dalam kesuksesan pengembangan industri manufaktur juga tidak dapat diabaikan. Karena proses perubahan dari satu struktur kebentuk lainnya merupakan hal yang senantiasa bersifat dinamis dan cenderung merespon perkembangan-perkembangan mutakhir. (Alan B. Mountjoy : 1975).
Salah satu prinsip dasar untuk transformasi teknologi dan industri dalam rangka pembangunan bangsa adalah bahwa teknologi hanya dapat dialihkan, diterapkan dan dikembangkan lebih lanjut jika mereka benar-benar diterapkan pada pemecahan problem-problem yang kongkret Pada dirinya, karena sifatnya, teknologi-teknologi tidak dapat dimengerti apalagi dikembangkan secara abstrak.
Untuk mengembangkan teknologi padi misalnya, memang sangat penting dipelajari pertanian padi dan teknologi-teknologi produksi padi yang telah dikembangkan di seluruh dunia. Tetapi yang paling penting adalah usaha meningkatkan produksi padi dalam pelbagai kondisi lahan, kondisi cuaca, kondisi ekonomi dan di dalam lingkungan masyarakat dan kebudayaan tertentu.(B.J. Habibie : 1983).


Beragamnya konsep pembangunan ekonomi yang ditawarkan menjadikan pilihan-pilihan yang ada tidak gampang untuk diputuskan. Adalah sangat arif dan bijaksana jika pada akhirnya pilihan yang diperoleh merupakan pilihan pembangunan ekonomi yang strategis untuk kondisi negara dan bangsa tanpa memaksakan kesamaan dengan negara-negara maju. Karena pada akhirnya tingkat kesejahteraan rakyat jugala yang akan menjadi indikator paling kuat dalam menilai pilihan yang paling strategis.
Transformasi struktural yang digambarkan pada peralihan sektor pertania ke industri, dan selanjutnya pada bidang jasa, nampaknya memperoleh kaunter yang cukup serius. Sebab apa yang selama ini dilihat sebagai transformasi struktural dinilai sebagai sebuah kamuplase. Peralihan dari sektor pertanian ke industri tak lebih dari adopsi teknologi yang berakibat serius terhadap penguasaan pasar negara industri terhadap negara agraris.
Barang-barang industri telah memasuki negara agraris tanpa diperlengkapi dengan transper nilai, budaya, dan filosofi teknologi itu sendiri. Akibatnya, ketergantungan struktural terjadi secara sistimatis. Inilah kemudian yang dinilai sebagai proses marjinalisasi negara-negara industri terhadap negara dunia ketiga.
Antara transformasi struktural dan proses marjinalisasi memang menjadi dua bagian yang berbeda. Sebagai arah perubahan konsep pembangunan ekonomi makro, transformasi harus terjadi sebagai bentuk respon positif terhadap laju pertumbuhan. Tetapi implikasi negatif atau sesuatu lalu bersifat disfungsional juga harus diterima sebagai kenyataan. Setuju atau tidak, tampaknya keduanya akan berjalan terus.
Dua kenyataan yang berbeda di atas membuka kesempatan luas bagi kita untuk meletakkan kerangka analisis yang tajam tentunya. Apakah transformasi struktural yang terjadi pada dunia ketiga menjadi bagian dari konspirasi besar dari upaya penguasaan pasar yang dilakukan sebagai bagian dari rencana besar negara industri melakukan ekspansi pasar ? atau justru negara-negara berkembang pada kenyataannya memang tidak memiliki alasan yang cukup untuk melakukan resistensi berarti terhadap negara industri.
Pada tataran ini, reaksi terhadap gagasan teori keunggulan komparatif menjadi lebih keras. Keunggulan komparatif tidak berjalan sebagaimana desain dasarnya. Dominasi kelas atas kelas lain yang tercipta, dan pada akhirnya negara-negara berkembang terpinggirkan disaat negara-negara industri menikmati panen besar.

DAFTAR PUSTAKA
Arief, Sritua. 1997. Pembangunanisme dan Ekonomi Indonesia, Pemberdayaan Rakyat Dalam Arus Globalisasi. Zaman Wacana Mulia : Jakarta.
Arieff, Muhamed & Hal Hill. 1988. Industrialisasi di Asian. LP3ES, Jakarta.
Alan B. Mountjoy. 1975. Industialization and Developing Countries. The Anchor Press Ltd, Great Britain.
B.J. Habibie. 1983. Beberapa Pemikiran Tentang Strategi Transformasi Industri Suatu Negara Berkembang, Pidato disampaikan pada Sidang Deutsche Gesellschaft fur Luft-und Raumfahrt Bonn, Republik Federasi Jerman 14 Juni 1983.
Budiman, Arief. 1996. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Khaeruddin, Peny. 1984. Struktur Sosial dan Mobilitas dalam Pembangunan Ekonomi. Nurcahaya, Yogyakarta.
Sugiono, Muhadi. 1999. Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Syahrir, Peny. 1997. Analisis dan Metodologi Ekonomi Indonesia. Gramedia, Jakarta.
Pangestu, Mari dkk, Peny. 1996. Transformasi Industri Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas. CSIS, Jakarta.
Thee Kian Wie. 1988. Industrialisasi Indonesia: Analisis dan Catatan Kritis. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

03 Februari 2008

INTISARI PENELITIAN RESOLUSI KONFLIK LOKAL

Penelitian ini difokuskan pada upaya untuk memperoleh wawasan tentang bagaimana praktek-praktek tradisional dapat menawarkan jalan alternatif untuk mengakhiri konflik. Teori etnokonflik yang beragam secara kultural berasal dari pandangan tentang konflik yang berlandaskan akal sehat dan dikonstruksikan secara lokal, sedangkan etnopraxis adalah kebiasaan atau teknik untuk berhubungan dengan konflik yang berasal dari pandangan etnokonflik dan perlu dikembangkan serta dipadukan ke dalam konstruksi dari pendekatan penyelesaian konflik umum. Dari pandangan ini kemudian diletakkan setawar sedingin, dan biografi konflik nelayan sebagai obyek studi.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan bersifat analisis deskriptif kualitatif. Pada tahap awal digunakan model analisis dan pemetaan konflik dari Kent, dengan melihat setting, isu, kelompok-kelompok yang bertikai, dinamika dan alternatif penyelesaian konflik. Melalui pendekatan ini diperoleh kesimpulan bahwa; pertama, konflik nelayan terjadi karena ketidakseimbangan faktor pendorong dan penekan situasi konflik seperti perubahan-perubahan penting dalam komposisi penduduk berdasarkan etnis, perkembangan sosial ekonomi, perubahan politik, lemahnya penegakan supermasi hukum, dan modernisasi budaya. Isu yang paling dominan adalah trawl dan kesenjangan ekonomi, sedangkan yang paling potensial mempercepat konflik terbuka adalah isu etnisitas.
Kedua, konflik nelayan di Kota Bengkulu dengan menggunakan terminologi nelayan maju dan nelayan tradisional, ternyata aktornya adalah sesama nelayan maju tetapi berbeda kelompok. Kenyataan ini didasarkan pada logika isu yang dikembangkan untuk membentuk kelompok-kelompok konfliktual. Ketiga, perbedaan artikulasi kepentingan telah menciptakan hubungan konfliktual segitiga antara nelayan tradisional, nelayan maju, dan pemerintah. Dari hubungan-hubungan yang terbentuk ini, diketahui bahwa, konflik laten dapat bertahan dalam waktu lama karena pilihan resolusi konflik elit pemerintahan lokal gagal mengeliminasi konflik, tetapi berhasil mentransformasi konflik manifest menjadi laten.
Keempat, penyebab kegagalan penyelesaian konflik sebelum digunakannya setawar sedingin adalah lemahnya dukungan dan legitimasi kelembagaan pihak ketiga yang memprakarsai konsiliasi, rekonsiliasi, ataupun mediasi antar fihak-fihak yang berkonflik. Selain itu, tingkat partisipasi dan konsistensi fihak-fihak yang berkonflik untuk melaksanakan konsensus yang telah dicapai sangat rendah sebagai dampak dari lemahnya institusi konsiliasi yang digunakan.
Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa, setawar sedingin adalah model resolusi konflik yang memiliki mekanisme kerja hampir sama dengan konsiliasi yang umum dikenal dalam literatur konflik. Perbedaannya, Ia banyak menggunakan simbol-simbol lokal, dan memiliki tingkat kepercayaan publik yang kuat dan luas akibat ikatan emosi kultural. Peran setawar sedingin pada konteks konflik ini adalah usaha untuk mengatasi kontradiksi struktural, relasional dan kultural yang terletak pada akar konflik, sehingga ketidakharmonisan lintas budaya seperti peran interpretasi, motivasi dan prilaku yang berbeda yang dibentuk secara kultural justru dapat secara signifikan memperkuatnya setelah dibuat penyesuaian yang cocok, agar dapat menopang proses menciptakan dan menjaga perdamaian.
Kata kunci: Setawar sedingin, resolusi konflik, etnisitas,

Selamat Datang

"Berbahagia menyambut kedatangan anda di blog ini. Semoga ada manfaat yang anda bawa dan sekaligus meninggalkan manfaat untuk kesuksesan bersama".
Birunya laut seakan mewakili suasana lagit tempat muara pikir dan dzikir bertabur. Saya menunggu karya-karya anda yang melampaui gagasan dan batas-batas imajiner langit.