03 April 2008

ETNOMETODOLOGI STUDI PEMBANGUNAN

Pendahuluan
Perdebatan metodologi dengan penekanan pendekatan kuantitatif dan kualitatif adalah perdebatan klasik yang selalu hangat dibicarakan. Untuk beberapa kasus penelitian sering terjadi klaim-klaim keunggulan antara satu dengan yang lainnya. Meskipun upaya mencari titik temu antara kedua pendekatan ini juga dimunculkan untuk mengurangi ketegangan sekaligus menawarkan pemikiran alternatif. Tulisan ini (etnometodologi studi pembangunan) termasuk mencoba memposisikan diri pada kelompok yang terakhir yakni, menunjukkan ruang di mana pendekatan kuantitatif dan kualitatif saling melengkapi .
Critical Review yang dikehendaki pada tulisan ini akan mengalami kesulitan-kesulitan tertentu jika tidak diupayakan mengembangkan konseptualisasi dengan dukungan data dari perdebatan awal metodologi dalam ilmu-ilmu sosial. Pemahaman yang memadai akan warisan perdebatan ini paling tidak dapat membantu kita untuk membaca dan mengerti hasil-hasil penelitian sampai pada taraf epistimologi dan implementasi.
Adalah Habermas yang menaruh keprihatinan atas pertentangan antara logika ilmu alam dan ilmu-ilmu humaniora. Meskipun jauh sebelumnya Max Weber juga telah ikut terlibat dalam perselisihan metode (methodenstreit) dalam upaya menentukan status keilmuan dari disiplin ekonomi. Perdebatan pada waktu itu adalah berupaya menjawab pertanyaan apakah ilmu ekonomi merupakan ilmu dengan logika nomologis ataukah juga memasukkan logika ideografis sehingga selain ada aspek teoritis metodologis (matematis) juga ada dimensi historis.
Perdebatan itu masih berlangsung hingga sekarang sehingga melahirkan perang yang tidak berkesudahan, meskipun berbagai upaya untuk menyatukan metode (seperti yang dicita-citakan Habermas) juga sedang berlangsung, sehingga terjadi perdebatan antara faham ekonometrik berhadapan dengan ekonomi yang berwawasan sosial budaya (kelembagaan).
Implikasi dari pengetahuan tentang perdebatan metodologi tersebut akan menumbuhkan kesadaran atas wawasan epistimologi. Tanpa memahami perdebatan metodologi yang telah terjadi sebelumnya seseorang dapat keliru dalam memilih metode penelitian sehingga hasil penelitian menjadi kehilangan relevansi. Demikian pula dalam hal membaca hasil-hasil dari penelitian baik yang menggunakan pendekatan kuantitatif maupun kualitatif.
Dalam konteks penelitian dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif di Jawa Tengah, Michael R. Dove kembali memasuki wilayah perdebatan metodologi. Kata kuci yang digunakan baik di awal maupun pada akhir argumentasinya adalah “fakta sosia”. Dove tidak menafikkan peran statistik dalam riset-riset pembangunan, tetapi juga tidak membenarkan untuk semua hal. Mempergunakan statistik dalam banyak hal justru memungkinkan timbulnya kegagalan membangun kesadaran akan arti fakta sosial. Padahal kesadaran akan fakta sosial memiliki peran penting dan akan mengarahkan kita untuk bertanya lebih lanjut, apa sebenarnya fakta sosial itu.
Bahasa yang sedikit ekstrim digunakan Dove untuk menyebut pembangunan desa yang kebanyakan menyandarkan ukuran keberhasilannya dari proses kuantifikasi adalah sebagai ilmu pengetahuan kuatitatif. Argumentasinya adalah bahwa, kuantifikasi yang terlalu dipercaya ini telah menyebabkan adanya kelemahan-kelemahan dalam kebanyakan kerja pembangunan di masa lampau ataupun masa kini.
Dove tampaknya menyadari pentingnya memahami data-data kualitatif dan data-data kualitatif yang didasarkan pada perbedaan epistimologi. Sebab kegagalan pemahaman pada tingkat ini akan berdampak pada buruknya pemahaman terhadap data kuantitatif maupun kualitatif. Pemahaman yang buruk dan keliru atas pembacaan data kedua pendekatan ini pada akhirnya lebih jauh mengalami kegagalan sampai kepada tingkat implementasi pembangunan.
Dasar-dasar historis akhirnya menjadi pilihan Dove untuk memulai perdebatan metode kualitatif dan kuantitatif. Dari penjelasan historis kemudian dilanjutkan pada kritik terhadap penerapannya dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Tidak ketinggalan contoh-contoh hasil penelitian pada pembangunan pertanian dengan pendekatan kuantitatif yang mengalami bias dalam memperoleh dan membaca data.

Kritik Mengenai Analisa Kuantitatif
Emile Durkheim merupakan seorang ilmuwan ilmu sosial yang telah mengembangkan dan mendayagunakan sistem analisa kuantitatif. Dalam studinya mengenai bunuh diri di Prancis, yang diterbitkan pada 1897 dia menulis bahwa, meskipun dia tidak bisa meramalkan apakah seseorang akan atau tidak akan melakukan bunuh diri dalam suatu tahun tertentu, dia bisa meramalkan tingkat persentase yang akan melakukan bunuh diri dari populasi secara keseluruhan.
Apabila populasi kemudian dibagi menjadi sub bagian golongan Katolik dan golongan Protestan, dia mengatakan bahwa, prosentase bunuh diri bisa diramalkan akan lebih tinggi di antara golongan yang nomor dua daripada yang pertama. Menurut Durkeim, hal ini karena sifat integrative agama yang pertama dan sifat disintegratif dari agama yang kedua.
Studi yang dilakukan oleh Durkheim tetap merupakan suatu pernyataan pelopor atas adanya fakta bahwa sikap-tindak kelompok (group behavior) itu bisa diramalkan walaupun tidak bisa untuk sikap-tindak perseorangan. Studinya juga sekaligus menunjukkan bagaimana ilmu berhitung bisa mengubah realitas sosial.
Yang menarik diperhatikan di sini adalah kesimpulan yang diambil oleh Durkheim dalam karyanya yang berjudul The Social Meaning of Suicide ternyata menjadi penyebab Doglas menyerangnya. Doglas menyerang kesimpulan Durkheim yang mengatakan golongan Protestan lebih banyak melakukan bunuh diri daripada golongan Katolik. Serangannya dipusatkan pada sifat data dan persepsi Durkheim atas sifat tersebut. Kesalahan Durkheim terutama dalam mempergunakan statistik pada insiden melakukan bunuh diri pada Protestan dan Katolik sebagai fakta-fakta mengenai bunuh diri.
Menurut Doglas, statistik bukanlah fakta-fakta sama sekali, tetapi sama dengan interpretasi mengenai fakta-fakta. Antara bunuh diri pada golongan Katolik dan Protestan terpaksa memperoleh tafsiran yang berbeda tentang bunuh diri secara statistik hanya karena adanya perintah keagamaan yang lebih keras untuk tidak melakukan bunuh diri pada golongan Katolik. Laporan yang berbeda-beda semacam ini menurut Doglas melemahkan atau menggagalkan kesimpulan yang diambil oleh Durkheim. Penekanan yang sesungguhnya ingin disampaikan oleh Doglas adalah bahwa statistik tidak bisa dipakai begitu saja atau dengan fase value. Lebih baik semua itu dikenal sebagaimana adanya. Bukan sebagai realitas sosial atau pun fakta sosial, tetapi sebagai interpretasi dari realitas atau fakta tersebut.
Kegagalan untuk menangkap fakta sosial di balik atau di luar statistik khususnya, merupakan warisan dari tradisi yang dicetuskan oleh Durkeim hampir satu abad yang lalu. Kegagalan semacam ini hampir ditemukan dalam kasus-kasus penelitian serupa. Kritik-kritik mengenai revolusi hijau misalnya, pada umumnya menunjukkan arti penting dari data kualitatif, khususnya, dari pandangan lokal dan asli terhadap kehidupan. Antropologi dinilai oleh Dove sesuatu yang bersifat unik dalam memberikan kepada kita pandangan orang mengenai diri mereka sendiri. Karena data-data dari ilmu pengetahuan ini merupakan pemikiran-pemikiran dari rakyat dan bukan dari para ahlinya.
Alasan yang menarik untuk diperhatikan adalah anggapan dasar yang selalu menjadi kritikan bidang ilmu lain (ilmu alam) terhadap ilmu sosial yakni, datanya kadang-kadang dicela sebagai bersifat “subyektif”. Memang data-data itu bersifat subyektif apabila dipandang dari sudut rakyat atau informannya, tetapi pasti data-data itu tidak bersifat subyektif apabila dipandang dari sudut para antropolog.
Bagunan dasar yang menjadi perdebatan antara kuantitatif dan kualitatif sebagaimana dikemukakan di atas menjadi penyebab adanya perbedaan-perbedaan ketika saling menilai hasil penelitian masing-masing. Artinya, perbedaan tidak hanya pada tataran teknis, melainkan juga sampai pada perbedaan epistimologi.
Perbedaan dalam cara melihat dan merumuskan realitas akan melahirkan perbedaan-perbedaan proposisi tentang hakekat realitas tersebut beserta konsekuensi-konsekuensinya. Perbedaan pemahaman tentang sesuatu yang dianggap riil, akan diikuti pula oleh munculnya cara yang berbeda dalam memilih data yang relevan bagi realitas tersebut, dan strategi yang berbeda dalam mengumpulkan data. Aspek-aspek investigasi dan pemahaman ini menjadi bagian utuh dari semua sistem makna tadi. Tendensi semacam ini biasanya diterangkan dengan melihat isu-isu ontologi, epistimologi, metodologi dan metode.
Berikut ini beberapa contoh dari hasil penelitian pembangunan yang dilakukan di Jawa Tengah dengan pendekatan kuantitatif dan selanjutnya akan dianalisis mengenai hasil dari penelitian tersebut dengan pendekatan kualitatif.

Sistem Maro
Contoh yang pertama, dari daerah Sleman di lembah (daratan rendah) Jawa Tengah, berkenaan dengan suatu jenis pembagian hasil panen yang disebut maro. Secara tradisi pembagian hasil panen yang paling umum di daerah ini adalah, para petani memberikan semua input pertanian kecuali tanhnya itu sendiri, dan kemudian membagi hasil panen (dibagi dua) dengan pemilik tanah.
Terdapat kekacauan sistem dari kasus ini sebagai akibat yang tidak diperhitungkan sebelumnya dalam program revolusi hijau. Hal ini disebabkan oleh adanya fakta bahwa, dengan digunakannya varietas-varietas padi yang bisa berproduksi tinggi daripada out put (pengeluaran). Permasalahan bagi petani maro adalah bahwa, setiap peningkatan pembiayaan per unit hasil panen dirasakan pada tingkat lipat-dua karena mereka harus membagi hasil panen tersebut dengan pemilik tanah. Pemilik tanah tidak memikul beban naiknya ongkos pembiayaan karena tidak memberikan apapun kecuali tanah tadi. Namun pemilik tanah turut menerima separuh dari kenaikan hasil. Ketidakseimbangan ini sedemikian rupa sehingga tatanan maro tidak akan bertahan lama dalam kondisi-kondisi demikian.
Dalam situasi ketidakseimbangan, petani maro bisa berpindah ke bentuk lain dalam pembagian hasil panen, walaupun biasanya kurang mereka senangi, sebab memberikan pada petani suatu pendapatan yang lebih besar daripada yang didapatnya dengan sistem maro. Bisa juga dengan sistem maro, tetapi dengan memperkecil atau menghilangkan berbagai input yang mahal yang harus dipenuhi untuk penanaman varietas-varietas padi dengan hasil prosuksi tinggi. Strategi yang terakhir ini tentunya berakibat kurang baik bagi penanaman varietas-varietas itu.
Apa sesungguhnya yang ingin diperhatikan dalam kasus petani dengan sistem maro ini adalah sebuah hasil penelitian yang secara signifikan terutama dalam kalkulasi ekonomis program revolusi hijau berhasil meningkatkan hasil pertanian, tetapi gagal memberikan keseimbangan penghasilan antara petani penggarap dan petani pemilik tanah.
Terjadi perbedaan pemaknaan antara petani penggarap dengan pengambil kebijakan pembangunan. Di satu sisi program revolusi hijau dipandang oleh peneliti sebagai sebuah keberhasilan pembangunan, sementara dalam waktu yang bersamaan petani penggarap tidak melihatnya sebagai upaya sistematis yang dilakukan untuk meningkatkan penghasilan mereka. Terbukti dengan tingginya biaya input yang harus dikeluarkan petani penggarap tetapi tidak memberikan hasil yang lebih besar karena tetap juga harus berbagi keuntungan dengan pemilik tanah yang sama sekali tidak punya andil dalam program tersebut kecuali menyediakan tanah.

Pengaruh Bimas
Contoh hasil penelitian kedua adalah program Bimas atas kehidupan desa di Sleman. Program ini beresiko tinggi untuk mengalami kegagalan karena kesalahan penerapan data statistik. Program ini menyediakan kredit keuangan pemerintah kepada para petani yang ingin mengambil dan menggunakan input-input teknologi yang dibutuhkan dalam penanaman padi produksi tinggi. Programnya diperuntukkan bagi para petani dengan pemilikan tanah yang luasnya sekitar setengah hektar atau lebih. Hal ini berarti bahwa secara statistik sasaran program ini hanya diperuntukkan bagi sebagian kecil petani di Jawa. Untuk Sleman hanya 23 persen. Meskipun begitu, di daerah ini para petani yang lebih kecil jumlahnya bisa menggunakan keuntungan-keuntungan dari program Bimas dengan membeli pupuk, pestisida, dan sebagainya dari petugas pelaksana program tersebut.
Adanya pengaturan-pengaturan semacam ini mempunyai beberapa implikasi untuk program Bimas. Pertama, fakta bahwa para petani kecil ini dengan sukarela menggunakan kredit-kredit dengan input-input teknologi. Artinya, petani yang jumlahnya 77 persen di luar dari sasaran program Bimas ternyata memperlihatkan bahwa, mereka justru sanggup atau mampu mempergunakannya. Hal ini berarti bahwa suatu penyebaran resmi untuk program Bimas kepada para petani kecil mungkin diperlukan. Meskipun mungkin para petani mengungkapkan rasa puas mereka dengan peran tidak resmi dalam program Bimas sekarang, hal ini dapat merugikan program itu secara keseluruhan.
Karena partisipasi mereka tidak kentara dan dan tak diharapkan, dapat berarti bahwa input-input pertanian dari program Bimas sebenarnya sedang disalurkan kepada para petani yang lebih besar jumlahnya, dan demikian juga dengan areal yang lebih luas daripada yang dimaksudkan. Berkurangnya input-input ini mungkin bisa membahayakan keberhasilan program tersebut. Misal, input per unit daerah jatuh hingga melampaui batas-batas kritis.
Dari contoh hasil penelitian program Bimas kembali ditunjukkan bahwa ada proses-proses kebijakan pengembangan program Bimas yang sebelumnya dilakukan dengan kalkulasi statistik mengalami kegagalan pemaknaan terhadap sasaran. Kegagalan semacam ini tetap berkaitan dengan kata kunci yang digunakan Dove untuk mengkritisi hasil-hasil penelitian pembangunan pertanian, yakni kesadaran tentang fakta sosial.

Peranan Sepedamotor di Desa
Contoh ketiga adalah hasil dari sebuah penelitian yang bermaksud melihat pengaruh spedamotor bagi kehidupan pedesaan di Sleman. Asumsi awal penelitian ini melihat adanya perkembangan pesat dalam pemilikan dan pengguna sepedamotor di seluruh propinsi sebesar 28 persen pertahun dalam priode 1977-1981.
Dalam pemakaiannya, orang-orang desa kurang setuju dengan cara mengendarai sepedamotor yang gila-gilaan, membahayakan, dan tidak menuruti hukum. Dasar dari kekurang setujuan ini adalah meningkatnya jumlah kecelakaan dan kematian yang berhubungan dengan lalu lintas. Meskipun demikian setidak-tidaknya terdapat keprihatinan yang sama besarnya atas akibat tidak langsung dari fenomena ini. Salah satu akibat tidak langsung yang paling penting adalah, melemahnya kontrol sosial yang tradisional dan hal ini tidak dapat diharapkan.
Bisa dikatakan ada pertautan antara pengguna sepedamotor dengan pola sikap tindak khusus atau mungkin bersifat unik. Pola ini ditandai dengan sifat kepribadian, sifat anonomous, dan sifat existential, yang nampaknya tanpa disertai dengan teladan dalam masyarakat Jawa tradisional. Apabila interaksi dilakukan dalam konteks tradisionil, dia akan berpartisipasi sebagai suatu bagian dari kelompok, di mana peraturan dan norma menekan sikap-tindaknya akan disalurkan ke arah yang bisa diterima kelompok itu. Tekanan-tekanan itu semakin diperkuat dengan adanya fakta bahwa identitas khususnya dikenali oleh orang-orang lain dalam pertemuan itu.
Pertemuan dalam konteks tradisionil sangat berbeda dengan pertemuan yang terjadi di jalan sewaktu menggunakan sepeda motor. Pertama, pertemuan sewaktu menggunakan sepeda motor hanya melibatkan dua pengendara yang saling terpisah. Karena hal ini, dan juga karena sifat mudah bergerak (mobilitas) serta kecepatan sepeda motor, semua ini menjadi pertemuan-pertemuan antar orang asing yang tidak saling mengenal, dan karena sifat individu ini, pertemuan di jalan tersebut mempunyai penekanan pada diri pribadi, bukan pada orang lain yang jauh dari sifat-sifat khusus pertemuan tradisionil. Ini mungkin merupakan satu sebab bagi pengembangan penggunaan sepedamotor, yaitu fakta bahwa hal ini membantu pelepasan diri dari tekanan-tekanan tradisional yang sering sangat memberatkan..
Penelitian ini sesungguhnya ingin menunjukkan bahwa sikap-tindak pengguna sepedamotor telah memungkinkan diperoleh sifat yang ekstrim karena sistem hukumnya. Walaupun kepemilikan sepedamotor naik 28 persen per tahun, insiden pelanggaran di seluruh propinsi telah naik dengan 144 persen per tahun untuk segala jenis kendaraan bermotor. Meningkatnya kecemasan orang-orang desa atas suatu dunia di mana peraturan-peraturan yang baru belum lagi ada, belum diketahui, tidak bisa dimengerti, atau tidak jelas.

Kapal Pukat di Jepara
Contoh terakhir yang dapat memperlihatkan kegagalan dalam mensingkronkan antara statistik sosial dan fakta sosial adalah penelitian tentang pengaruh kapal-kapal pukat terhadap desa-desa nelayan di Jepara, pantai utara Jawa Tengah sejak 1972 sampai 1981. Penelitian ini menjelaskan bahwa dikembangkannya kapal pukat menimbulkan peningkatan efisiensi dan produktifitas industri perikanan pantai utara; dan ini dapat dikatakan sebagai keberhasilan pembangunan.
Meski penelitian ini menunjukkan adanya keberhasilan pembangunan, tetapi ada dua alasan yang dapat menunjukkan kesimpulan tersebut mengalami kesulitan pembacaan terhadap realitas sosial. Pertama, kapal-kapal pukat jelas mengakibatkan pengurangan sumber perikanan jangka panjang. Dipandang dari segi manapun ini tidak diinginkan kecuali mungkin bagi para pemilik pukat itu. Kedua, kapal-kapal pukat itu betul-betul merusak kehidupan dan kesejahteraan para nelayan kecil di sepanjang pantai tersebut.

Kritik dan Kesimpulan
Dari contoh-contoh yang dikemukakan memberikan kemungkinan jurang yang ada antara statistik sosial dan fakta sosial. Apa yang ingin disampaikan Dove dalam tulisan ini adalah bahwa, pengaruh-pengaruh dari luar terhadap obyek penelitian dapat salah dalam analisa-analisa. Suatu analisa yang lebih sensitif dapat memperbaiki pengertian, pengendalian, dan memonitoring pengaruh-pengaruhnya.
Yang menjadi argumentasi Dove adalah bahwa analisa yang lebih baik dan tepat dari fenomena sosial akan terdapat pada taksiran yang tepat dari data kuantitatif dan analisa kualitatif dalam ilmu pengetahuan pembangunan. Sebagian studi pembangunan menjadi kurang benar karena penggunaan statistik yang buruk. Ini merupakan permasalahn yang asli. Tetapi ini bukan permasalahan terutama dalam studi demikian. Bahkan dengan menggunakan statistik yang baik pun masih terdapat masalah. Peremasalahan-permasalahan ini berhubungan dengan anggapan sifat epistimologis dari statistik sikap tindak (misal, sosial ekonomi).
Dalam studi-atudi pembangunan sangat sering ada anggapan bahwa, statistik yang digunakan sebagai data primer merupakan gambran langsung dari sikap-tindak nyata dunia yang sebenarnya. Tidak ada statistik mengenai tindak-tindak itu di dunia yang nyata. Semua statistik demikian merupakan gambaran suatu seleksi dan abstraksi dari fenomena asli dunia nyata. Seleksi srta abstraksi ini seyogyanya didasarkan atas analisa-analisa kualitatif dari fenomena-fenomena tersebut.
Bila kita kembali kepada contoh terdahulu, tingkat pendapatan tidaklah ada. Sebenarnya apa yang disebut “pendapatan bersih” di dunia nyata . “Pendapatan bersih” itu tidak lebih daripada suatu rekaan konstruksi analisa, yang dikembangkan oleh para ekonom dan dipergunakan untuk menafsirkan dan meramalkan sikap-tindak yang ada pada suatu desa. Dalam mengembangkan rekaan konstruksi ini, ekonom yang menentukan apa itu “pendapatan” dan apa yang tidak boleh disebut pendapatan.
Apabila para ekonom dapat menggunakan rekaan konstruksi ini untuk meramalkan sikap-tindak secara sempurna dan berhasil, ini berarti bahwa ia merupakan rekaan konstruksi yang berguna. Tetapi tidak berarti bahwa, sifat epistimologis dari rekaan konstruksi bisa berarti lain daripada hanya suatu abstraksi dan interpretasi dari realitas sikap-tindak, yang berlainan dengan kenyataan realitasnya.
Fakta bahwa tidak ada angka-angka di dunia yang nyata, dan bahwa semua angka-angka didasarkan pada penilaian secara kualitatis data, hal ini mempunyai implikasi penting bagi metodologi dalam studi pembangunan. Sering dikatakan bahwa, studi-studi pembangunan jangka pendek seharusnya dipusatkan pada pengumpulan dan penilaian dari apa yang disebut data kuantitatif saja, karena adanya keterbatasan waktu yang tidak memungkinkan pengumpulan dan pendayagunaan data-data kualitatif, selayaknya sekarang sudah jelas bahwa hal itu tidak betul. Karena semua data kuantitatif mengenai sikap-tindak manusia didasarkan atas penilaian kualitatif sikap tindakan tersebut, pengumpulan data kuantitatif tidak akan dapat lebih cepat daripada pengumpulan data kualitatif, dan penipuan diri sendiri yang berkenaan dengan ketergantungan pada yang pertama tidak akan menghasilkan suatu studi yang lebih baik daripada kesadaran diri untuk bergantung.
Kesalahan dalam penggunaan statistik sosio-ekonomi ialah, karena ia dianggap sebagai data primer disbanding dengan interpretasi skunder dari data tersebut. Kesalahan kedua adalah anggapan bahwa statistik mengenai populasi besar mutlak lebih baik daripada populasi kecil. Tidak ada pernyataan yang sama sekali tidak betul, atau sama sekali tidak berguna apabila semua didasarkan atas populasi yang kecil atau sample yang kecil dari populasi.
Penilaian atas statistik sosial memang didasarkan pada argumentasi antropologis dan data kualitatif dalam studi-studi menganai pembangunan. Ini bukan berarti para antropolog tidak mengalami kesulitan dalam meninggalkan semua pre konsepsi (pra-anggapan) dan prasangka-prasangka dari kebudayaannya sendiri dikala mempelajari sesuatu kebudayaan asing. Bukan pula maksudnya mengatakan bahw adata dan analisa statistik selalu tidak dapat dipercaya dan tidak relevan lagi.
Kembali pada Durkeim, pengertian dari karyanya bukanlah hanya berarti bahwa, analisa-analisa kualitatif itu selalu melanggar validitas analisa kuantitatif. Pengertian yang sebenarnya adalah bahwa, kedua macam analisa tersebut dapat memberikan informasi dan mengarahkan pada lain sebagaimana mestinya. Keduanya bukan merupakan suatu alternatif bagi yang lain tetapi merupakan aspek pelengkap dari satu-satunya pendekatan bagi analisa realitas sosial.
Yang ingin diluruskan dalam kajian ini adalah bahaya anggapan bahwa, metodologi merupakan suatu faktor tetap, yang tidak terpengaruh oleh prasangka-prasangka khusus dari peneliti dan yang tidak mempengaruhi hasil risetnya. Tampak adanya bahaya anggapan bahwa apa yang kita lihat atau tangkap dan kita perlakukan sebagai fakta-fakta sosial, memang fakta-fakta sosial. Kesadaran ini mengarahkan perhatian kita pada apa yang akan merupakan pertanyaan awal dalam segala penyelidikan sosial yaitu, apakah fakta-fakta sosial itu.
Perdebatan klasik tentang metodologi dalam ilmu-ilmu sosial pada akhirnya bermuara pada pemaknaan tentang realitas sosial. Dari pertanyaan sederhana inilah melahirkan sekurang-kurangnya tiga metodologi ilmu pengetahuan. Pertama, positivisme sebagai awal revolusi struktur ilmu. Kedua, hermeunetik historical sebagai metodologi yang berusaha membangun teori atau filsafat ilmu pengetahuan tentang interpretasi makna. Ketiga, kritik sosial yang berusaha menghubungkan pengertian antara pengetahuan (knowledge) dan aksi (action). Jika positivisme berusah mencari penjelasan (explanation), maka hermeunetik hestorikal berusaha mencari pemahaman (understanding), sedangkan kritik sosial menjadikan refleksi diri sebagai pusat metodologi dan inti konsepnya.

Selamat Datang

"Berbahagia menyambut kedatangan anda di blog ini. Semoga ada manfaat yang anda bawa dan sekaligus meninggalkan manfaat untuk kesuksesan bersama".
Birunya laut seakan mewakili suasana lagit tempat muara pikir dan dzikir bertabur. Saya menunggu karya-karya anda yang melampaui gagasan dan batas-batas imajiner langit.