06 Februari 2008

MARJINALISASI NEGARA-NEGARA DUNIA KETIGA (Sebuah Analisis Terhadap Teori Keunggulan Komparatif )

Pendahuluan
Di tengah perdebatan teori-teori pembangunan, keterbelakangan, dan kemiskinan dunia ketiga, muncul berbagai spekulasi terhadap gagalnya teori keunggulan komparatif mengimplementasikan konsepnya sampai pada tataran praxis. Ide dasar yang dikembangkan adalah keuntungan dan kesejahteraan yang diperoleh bersama antara negara industri dan negara agraris sebagai konsekuensi logis dari pembagian kerja secara internasional.
Bahkan ada kecenderungan yang kuat untuk menilai teori keunggulan komparatif sebagai bentuk eksploitasi dan penindasan terselubung negara industri terhadap negara agraris. Ini terbukti setelah negara industri semakin meraup keuntungan yang besar sementara negara agraris mengalami kemiskinan hebat.
Adalah Raul Prebich, seorang ahli ekonomi leberal, sekretaris eksekutif sebuah lembaga PBB yang didirikan pada tahun 1948 di Santiago De Chile tertarik untuk menelusuri kegagalan teori keunggulan komparatif ini. Perhatian Prebich terkonsentrasi kepada persoalan mengapa negara-negara yang melakukan spesialisasi di bidang industri menjadi negara-negara kaya, sedang mereka yang memilih bidang pertanian tetap saja miskin.
Menurut Prebrich, adanya teori Pembagian Kerja secara Internasional yang yang didasarkan kepada teori keunggulan komperatif membuat negara-negara di dunia melakukakn spesialisasi produksinya. Oleh karena itu negara di dunia terbagi menjadi dua kelompok; negara-negara pusat yang menghasilkan barang industri, dan negara pinggiran yang menghasilkan barang-barang pertanian. Keduanya saling melakukan perdagangan. Dan menurut teori di atas seharusnya keduanya saling menguntungkan dan sama-sama kaya, tetapi kenyataan menunjukkan hal yang sebaliknya. Mengapa demikian ? atau apakah teori pembagian kerja yang dimaksudkan pada akhirnya akan memarjinalkan peran negara-negara dunia ketiga ? Persoalan inilah kemudian yang akan dianalisis dengan berbagai pendekatan.
Prebrich menunjuk pada penurunan nilai tukar dari komoditi pertanian terhadap komoditi barang-barang industri. Barang-barang industri menjadi semakin mahal dibandingkan dengan barang-barang hasil pertanian. Akibatnya terjadi defisit pada neraca perdangangan negara-negara pertanian bila mereka berdagang dengan negara-negara industri. Dan defisit ini makin lama makin dirasakan menjadi beban yang besar.
Gejala ini dapat dijelaskan pertama, karena permintaan untuk barang-barang pertanian tidak elastis. Di sini berlaku apa yang disebut sebagai “Hukum Engels”, yang menyatakan bahwa pendapatan yang meningkat menyebabkan prosentasi konsumsi makanan terhadap pendapatan justru menurun. Artinya pendapatan yang naik tidak menaikkan konsumsi untuk makanan, tetapi justru menaikkan konsumsi barang-barang industri. Akibatnya, anggaran negara pertanian yang digunakan untuk mengimpor barang-barang industri dari negara-negara pusat akan semakin meningkat, sedangkan pendapatan dari hasil ekspornya relatif tetap.
Kedua, negara-negara industri sering melakukan proteksi terhadap hasil pertanian mereka sendiri sehingga sulit bagi negara pertanian untuk mengekspor ke sana. Inilah yang memperkecil jumlah ekspor negara pinggiran ke negara pusat. Ketiga, kebutuhan akan barang mentah dikurangi sebagai akibat dari adanya penemuan-penemuan teknologi baru yang dapat membuat bahan-bahan menjadi sintesis.
Jika negara pinggiran mengalami ketimpangan dari hasil pembagian kerja secara internasional, maka negara pusat yang memproduksi bahan-bahan industri justru memperoleh keberuntungan. Hal ini dapat terjadi karena pertama, kenaikan pendapatan mengakibatkan juga kenaikan pada konsumsi barang-barang industri. Karena itu kenaikan pendapatan di negara industri tidak banyak menaikkan impor barang-barang pertanian. Tetapi sebaliknya kenaikan pendapatan di negara pertanian menyebabkan meningkatnya impor barang-barang industridari negara-negara pusat.
Kedua, kemakmuran yang meningkat, dan kekuatan stabilitas politik yang relatif membaik berdampak pada membaiknya posisis tawar menawar kaum buruh. Akibatnya, upah buruh juga terus meningkat. Dampaknya kemudian adalah upah buruh menjadi semakin tinggi. Seiring dengan meningkatnya upah buruh, harga jual barang industri pun menjadi semakin mahal. Kenaikan harga barang industri ini tidak diikuti oleh kenaikan permintaan dan harga barang-barang pertanian. Sehingga pada akhirnya kesenjangan pendapatan antara negara pertanian dan industri mengalami ketimpangan. (Arief Budiman : 1996)
Yang menjadi masalah serius kemudian adalah posisi Indonesia dalam pembagian kerja ternyata bertahan lama pada kelompok negara spesial di bidang pertanian yang sangat lambat melakukan perubahan pembanguinan ekonomi dari pertanian ke industri manufaktur. Artinya, Indonesia tidak termasuk diuntungkan dalam pembagian kerja internasioanl tersebut. Akan lebih parah lagi jika melihat kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia tetap terkonsentrasi pada prioritas pembangunan di sektor pertanian dan tidak menunjukkan adanaya peningkatan di sektor industri secara signifikan.
Padahal, sektor pertanian yang sehat dalam suatu negara miskin secara material dapat juga memberi sumbangan terhadap laju pertumbuhan yang lebih cepat dan merata bagi sektor perekonomian lainnya. (Syahrir: 1991)
Persoalan ini, meski tidak dilihat sebagai satu-satunya alasan, baik dilihat sebagai kajian lokal, regional maupun internasional menjadi faktor yang menentukan dirobahnya orientasi pembangunan dari pertanian ke pembangunan industri, baik industri padat karya maupun industri padat modal.
Setidaknya tesis Tokman membantu kita untuk memperoleh gambaran dengan dukungan bukti-bukti empiris dan data di Indonesia yang menyebutkan angka-angka perbedaan produktivitas antar sektor dalam ekonomi Indonesia untuk priode 1971 – 1990 misalnya. Perbedaan produktivitas antar sektor dalam ekonomi Indonesia selama priode ini secara umum bersifat statis atau tidak meningkat. Rasio antara produktivitas sektor pertanian dengan produktivitas non pertanian praktis tidak berubah, yaitu sebesar 0,25 pada tahun 1971, sebesar 0,26 pada tahun1985 dan sebesar 0,24 pada tahun 1990. Kesenjangan antara sektor pertanian dan industri telah bertambah parah . Rasio antara sektor pertanian dan industri telah turun dari 0,56 pada tahun 1971, menjadi 0,32 pada tahun 1985, dan menjadi 0,23 pada tahun 1990. (Sritua Arief : 1997)

Perubahan Arah Pembangunan Ekonomi di Indonesia
Pada tahun 1951 diperkenalkan suatu kebijakan ekonomi yang dikenal dengan Rencana Urgensi Perekonomian. Kebijakan ini dilandasi suatu gagasan mulia yakni mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, dengan industrialisasi sebagai motornya. Sejajar dengan itu pertanian sebagai realitas dominan yang ada di masyarakat tidak dikesampingkan.
Pada Repelita I tujuan dan arah pembangunan sektor industri yang ditetapkan adalah industri yang mendukung dan saling berkaitan dengan sektor pertanian, industri yang dapat menghasilkan atau menghemat devisa dengan cara subtitusi impor, industri padat karya dan industri yang mendorong usaha-usaha pembangunan regional.
Sementara itu industri yang berkembang pada masa awal Orde Baru memperlihatkan beberapa ciri spesifik. Ciri pertama adalah; keanekaragaman sektor industri. Perusahaan yang bergerak di sektor industri ada tiga golongan yakni; perusahaan besar dan sedang yang termasuk sektor industri modern, perusahaan kecil, dan perusahan industri rumah tangga. Keanekaragaman ini membawa dampak dilema ketika harus menentukan skala prioritas antara pembangunan industri padat karya atau padat modal. Apabila tekanan diberikan kepada penciptaan lapangan kerja dan memerangi kemiskinan maka penyaluran sumber-sumber ekonomi yang ada mengalir pada perusahaan kerajinan rumah tangga yang sering kali tidak produktif dan relatif singkat usianya.
Ciri kedua adalah sempitnya basis industri dan ketergantungan pada sektor pertanian. Sedikit jumlah sektor industri yang mengolah hasil pertanian. Pada umumnya industri pertanian berkutat pada pengolahan hasil kerajinan, jarang ditemukan jenis usaha angro industri.
Ketiga adalah adanya perbedaan yang mencolok antara perkembangan industri di pulau Jawa dan pulau Luar Jawa. Pulau Jawa memiliki proporsi tenaga kerja yang lebih besar, sementara industri di Luar Jawa belum berarti banyak.
Pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang antara daerah perkotaan dan pedesaan telah menimbulkan apa yang disebut prematur urbanization (urbanisasi yang prematur) yang bersamaan dengan terjadinya apa yang disebut struktural deformation (deformasi struktural) dalam ekonomi. Tenaga kerja yang berpindah ke daerah perkotaan, yang mengalami proses pertumbuhan yang tinggi, tidak dapat ditampung secara berarti dalam sektor industri.
Ketidaksanggupan sektor industri menyerap tenaga kerja secara baik disebabkan oleh dua faktor utama. Faktor yang pertama adalah kapasitas akumulasi yang relatif rendah dalam sektor industri, sehingga terjadi apa yang disebut dynamic insufficiency (ketidakcukupan dinamis) yang disebabkan banyaknya sumber-sumber investasi yang dialokasikan untuk produksi barang-barang konsumsi mewah.sehingga surplus konsumsi tidak dapat dialokasikan untuk ekspansi kapasitas produksi. Akumulasi surplus terjadi akhirnya tidak dapat digunakan untuk menimbulkan secara luas kapasitas produksi yang baru untuk menampung tenaga kerja yang banyak. Kedua adalah penggunaan teknologi yang padat modal dalam sektor industri.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa perubahan konsentrasi kebijakan dari sektor pertanian ke sektor industri tetap menyisahkan masalah yang tidak sedikit. Persoalan yang timbul di sektor industri tidak dapat dilepaskan sepenuhnya dari kebijakan sektor pertanian yang pengelolaan dan kesiapan penyesuaiannya tidak dengan mudah melepaskan persoalan-persoalan klasik.
Banyak analisa sosial yang dibutuhkan untuk pembangunan ekonomi memberi kesan bahwa masyarakat industrialisasi dengan cepat haruslah mendobrak ikatan-ikatan tradisionalnya, membutuhkan tingkat yang benar-benar fleksibel di dalam hubungan-hubungan peranan, keinginan-keinginan untuk memperlakukan kekuatan pasar (market force), dan kebebasan individu, serta sistim rekrut bagi posisi penting yang secara luas didasarkan pada kreteria prestasi dan bersifat umum. Pendeknya melihat kepada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ini dalam masyarakat yang berbeda terdapat kesan adanya beberapa kelengkapan-kelengkapan ekstra dalam cara dimana pendidikan benar-benar membantu pembangunan. (Khaeruddin, Peny. : 1984)
Industri manufaktur di Indonesia mengalami pertumbuhan yang relatif pesat terutama pada satu dasawarsa terakhir (1980-1990). Pertumbuhan sektor ini priode tahun 1970 –1980 rata-rata sebesar 14 % pertahun. Di masa mendatang produk manufaktur diproyeksikan masih merupakan komoditi andalan ekspor non migas. Untuk itu pemerintah dalam Repelita VI terus menggalakkan promosi investasi di sektor manufaktur baik melalui skema Portofolio maupun investasi langsung Pemasukan Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Pemasukan Modal Asing (PMA).
Dalam konteks di atas pemerintah harus melakukan penajaman prioritas industri manufaktur yang memiliki daya saing tinggi di pasar dunia. Perubahan dari orientasi komparatif kepada persaingan kompetitif diharapkan menjadi landasan kuat untuk memulai era industri yang tidak saja berbasis pada industri padat modal, tetapi juga memiliki kemampuan menyerap tenaga kerja produktif yang handal.
Dalam era globalisasi, prilaku bisnis dituntut untuk menyesuaikan strategi kompetitifnya dengan tidak lagi mengandalkan keunggulan komperatif tetapi strategi keunggulan kompetitif (convetitive advantange) menjdi prioritas targetnya.
Berdasarkan faktor intensitasnya, produk industri manufaktur dapat diklasifikasikan ke dalam :
1. Industri yang mengutamakan sumber daya alam (natural resource intensive)
2. Industri yang mengutamakan tenaga kerja murah (unskilled labour intensive)
3. Industri manufaktur padat modal (phisical capital intensive)
4. Industri manufaktur berteknologi tinggi. (INDEF: 1997)

Transformasi Struktural atau Marjinalisasi
Proses perkembangan ekonomi suatu negara telah sering diartikan atau difahami sebagai suatu proses transformasi struktural. Proses transformasi struktural ini adalah dalam bentuk terjadinya pergeseran dari sektor pertanian ke sektor industri dan kemudian ke sektor jasa-jasa. Dalam hal ini proses perkembangan ekonomi ditandai oleh perubahan dalam konstribusi sektoral terhadap output nasional sebagai akibat terjadinya pergeseran tenaga kerja nasional dari sektor pertanian ke sektor industri dan kemudian sektor jasa-jasa. Sektor jasa-jasa dianggap sebagai sektor tertinggi dalam perkembangan ekonomi.
Teori transformasi struktural dalam perkembangan ekonomi bukanlah jaminan atas keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia. Tetapi yang menjadi penekanan adalah bagaimana proses transformasi ini dapat berjalan dengan meminimalkan resiko sosial yang harus ditanggung. Pekerja sektor pertanian misalnya, sebagai sektor yang secara kultural dan struktural menjadi lahan pekerjaan yang paling banyak ditekuni masyarakat Indonesia, dipaksa membaca realitas sesungguhnya agar tidak salah dalam menentukan pilihan-pilihan hidup. Harus diakui pula bahwa kendala-kendala psikologis maupun teknis tetap menjadi bagian yang tidak terpisahkan ketika proses transformasi ini berlangsung.
Kelompok peneliti Berkeley mengemukakan argumentasi bahwa perkembangan ekonomi hendaknya dipahami dan diinterpretasikan bukan hanya dalam konteks pergeseran dari sektor pertanian ke sektor manufaktur dan kemudian ke sektor jasa. Tahap perkembangan ekonomi hendaknya dipahami dalam pengertian dinamika yang terjadi dalam kegiatan inti dan pendukung.
Dalam tahap transformasi di bidang industrialisasi, beberapa kegagalan ditemukan justru pada saat dilakukan pendekatan pembangunan yang mengutamakan industrialisasi subtitusi impor yang padat modal. Disamping itu terdapat juga sikap pesimisme mengenai keberhasilan program industrialisasi promosi ekspor dalam memecahkan persoalan pembangunan di Indonesia.
Pertumbuhan industri manufaktur di Indonesia khususnya, mengalami peningkatan pesat pada tahun 1970 an, hampir setinggi Korea. Tetapi pertumbuhan tersebut berangkat dari dasar yang sangat kecil, dan dibandingkan dengan GDP maupun sektor pertanian. (Mohamed Arief & Hal Hill : 1988 )
Ada dua strategi yang dikembangkan dalam memacu pesatnya pertumbuhan ekonomi. Pertama strategi subtitusi impor, dengan harapan, sektor industri manufaktur dapat bertumbuh dengan lebih pesat dan penggunaan devisa dapat dihemat. Kedua, strategi promosi ekspor, yang diduga lebih menjanjikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dibandingkan strategi subtitusi impor. Ada 4 alasan yang dikemukakan oleh Wakil Presiden Bank Dunia untuk menjelaskan hal ini: (1) Kaitan sektror pertanian dan industri (2) skala ekonomi (3) dampak persaingan atas prestasi perusahaan (4) dampak kekurangan devisa atas pertumbuhan ekonomi. (Thee Kian Wie : 1988)
Pilihan-pilihan strategis dalam penentuan arah pembangunan ekonomi pada akhirnya akan merujuk kepada kesiapan berbagai faktor pendukung dalam proses transformasi struktural dari pertanian ke industri, maupun pada pemilihan sektor jasa sebagai arah kebijakan pembangunan ekonomi. Dalam konteks Indonesia, pilihan-pilihan struktur pembangunan ekonomi yang dikemukakan berbagai ahli ekonomi maupun pengalaman pembangunan yang telah dialami sejak awal kemerdekaan sedikit banyak membantu memberi referensi yang sangat berarti. Setidaknya sektor pertanian terpacu secara berkesinambungan seiring pengembangan sektor industri yang tengah dipacu pertumbuhannya.
Untuk mencapai pertumbuhan yang berkesinambungan, yang merupakan inti tujuan utama pembangunan ekonomi, diperlukan transformasi dan perubahan struktur ekonomi yang pada gilirannya sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam melakukan industrialisasi. Pembangunan ekonomi selama orde baru telah mengubah struktur ekonomi sesuai dengan pola-pola umum yang terjadi di negara berkembang seperti semakin kecilnya peran sektor pertanian, meningkatnya sumbangan sektor manufaktur terutama dalam produk domistik bruto (PDB). Disektor manufaktur juga telah terjadi perubahan struktur yang cukup mendasar, baik dalam komposisi produk-produk utama, keragaman barang-barang yang diproduksi maupun kandungan teknologinya. (Mari Pangestu Dkk, Peny. : 1996)
Meski strategi pembangunan yang diterapkan di berbagai negara berkembang termasuk Indonesia tengah mengalami perubahan struktur yang cukup mendasar, tetapi haruslah dipahami juga bahwa perubahan struktural tersebut tidak semata-mata dapat dilihat dengan pendekatan ekonomi makro. Ide-ide pembangunan yang turut berubah sebagaimana ditunjukkan oleh perubahan dramatis kebijakan ekonomi pemerintah negara-negara berkembang di penghujung 1970-an dan awal 80-an juga punya andil yang tidak sedikit. Kebijakan ekonomi domestik maupun internasional pemerintah negara-negara berkembang ditransformasikan melalui introduksi dan adopsi semacam reformasi liberalisasi ekonomi yang diniatkan untuk menata kembali peran dan keterlibatan negara dalam ekonomi.(Antonio Gramsci : 1999).
Kebutuhan akan dukungan infra struktur seperti keterampilan teknis dan pendidikan dalam kesuksesan pengembangan industri manufaktur juga tidak dapat diabaikan. Karena proses perubahan dari satu struktur kebentuk lainnya merupakan hal yang senantiasa bersifat dinamis dan cenderung merespon perkembangan-perkembangan mutakhir. (Alan B. Mountjoy : 1975).
Salah satu prinsip dasar untuk transformasi teknologi dan industri dalam rangka pembangunan bangsa adalah bahwa teknologi hanya dapat dialihkan, diterapkan dan dikembangkan lebih lanjut jika mereka benar-benar diterapkan pada pemecahan problem-problem yang kongkret Pada dirinya, karena sifatnya, teknologi-teknologi tidak dapat dimengerti apalagi dikembangkan secara abstrak.
Untuk mengembangkan teknologi padi misalnya, memang sangat penting dipelajari pertanian padi dan teknologi-teknologi produksi padi yang telah dikembangkan di seluruh dunia. Tetapi yang paling penting adalah usaha meningkatkan produksi padi dalam pelbagai kondisi lahan, kondisi cuaca, kondisi ekonomi dan di dalam lingkungan masyarakat dan kebudayaan tertentu.(B.J. Habibie : 1983).


Beragamnya konsep pembangunan ekonomi yang ditawarkan menjadikan pilihan-pilihan yang ada tidak gampang untuk diputuskan. Adalah sangat arif dan bijaksana jika pada akhirnya pilihan yang diperoleh merupakan pilihan pembangunan ekonomi yang strategis untuk kondisi negara dan bangsa tanpa memaksakan kesamaan dengan negara-negara maju. Karena pada akhirnya tingkat kesejahteraan rakyat jugala yang akan menjadi indikator paling kuat dalam menilai pilihan yang paling strategis.
Transformasi struktural yang digambarkan pada peralihan sektor pertania ke industri, dan selanjutnya pada bidang jasa, nampaknya memperoleh kaunter yang cukup serius. Sebab apa yang selama ini dilihat sebagai transformasi struktural dinilai sebagai sebuah kamuplase. Peralihan dari sektor pertanian ke industri tak lebih dari adopsi teknologi yang berakibat serius terhadap penguasaan pasar negara industri terhadap negara agraris.
Barang-barang industri telah memasuki negara agraris tanpa diperlengkapi dengan transper nilai, budaya, dan filosofi teknologi itu sendiri. Akibatnya, ketergantungan struktural terjadi secara sistimatis. Inilah kemudian yang dinilai sebagai proses marjinalisasi negara-negara industri terhadap negara dunia ketiga.
Antara transformasi struktural dan proses marjinalisasi memang menjadi dua bagian yang berbeda. Sebagai arah perubahan konsep pembangunan ekonomi makro, transformasi harus terjadi sebagai bentuk respon positif terhadap laju pertumbuhan. Tetapi implikasi negatif atau sesuatu lalu bersifat disfungsional juga harus diterima sebagai kenyataan. Setuju atau tidak, tampaknya keduanya akan berjalan terus.
Dua kenyataan yang berbeda di atas membuka kesempatan luas bagi kita untuk meletakkan kerangka analisis yang tajam tentunya. Apakah transformasi struktural yang terjadi pada dunia ketiga menjadi bagian dari konspirasi besar dari upaya penguasaan pasar yang dilakukan sebagai bagian dari rencana besar negara industri melakukan ekspansi pasar ? atau justru negara-negara berkembang pada kenyataannya memang tidak memiliki alasan yang cukup untuk melakukan resistensi berarti terhadap negara industri.
Pada tataran ini, reaksi terhadap gagasan teori keunggulan komparatif menjadi lebih keras. Keunggulan komparatif tidak berjalan sebagaimana desain dasarnya. Dominasi kelas atas kelas lain yang tercipta, dan pada akhirnya negara-negara berkembang terpinggirkan disaat negara-negara industri menikmati panen besar.

DAFTAR PUSTAKA
Arief, Sritua. 1997. Pembangunanisme dan Ekonomi Indonesia, Pemberdayaan Rakyat Dalam Arus Globalisasi. Zaman Wacana Mulia : Jakarta.
Arieff, Muhamed & Hal Hill. 1988. Industrialisasi di Asian. LP3ES, Jakarta.
Alan B. Mountjoy. 1975. Industialization and Developing Countries. The Anchor Press Ltd, Great Britain.
B.J. Habibie. 1983. Beberapa Pemikiran Tentang Strategi Transformasi Industri Suatu Negara Berkembang, Pidato disampaikan pada Sidang Deutsche Gesellschaft fur Luft-und Raumfahrt Bonn, Republik Federasi Jerman 14 Juni 1983.
Budiman, Arief. 1996. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Khaeruddin, Peny. 1984. Struktur Sosial dan Mobilitas dalam Pembangunan Ekonomi. Nurcahaya, Yogyakarta.
Sugiono, Muhadi. 1999. Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Syahrir, Peny. 1997. Analisis dan Metodologi Ekonomi Indonesia. Gramedia, Jakarta.
Pangestu, Mari dkk, Peny. 1996. Transformasi Industri Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas. CSIS, Jakarta.
Thee Kian Wie. 1988. Industrialisasi Indonesia: Analisis dan Catatan Kritis. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Selamat Datang

"Berbahagia menyambut kedatangan anda di blog ini. Semoga ada manfaat yang anda bawa dan sekaligus meninggalkan manfaat untuk kesuksesan bersama".
Birunya laut seakan mewakili suasana lagit tempat muara pikir dan dzikir bertabur. Saya menunggu karya-karya anda yang melampaui gagasan dan batas-batas imajiner langit.